Fiksi Islami; Filmkan dan Sinetronkan!

22.16 / Diposting oleh untung wahyudi /

Selama dua tahun terakhir, setelah salah satu televisi swasta di negeri ini sukses menayangkan sebuah tayangan sinetron Islami yang dikemas dalam Rahasia Ilahi , tayangan sinetron serupa sempat mem-booming. Stasiun-stasiun televisi lain yang sebelumnya hanya menayangkan sinetron-sinetron romantis (seputar kisah cinta remaja) ikut "latah" menayangkan sinetron yang –kata orang-orang- hanya berkisah tentang "orang mati".
Kalau kita cermati, sebagian besar sinetron yang mayoritas diadaptasi dari kisah nyata di sebuah majalah Hidayah, Hikmah, Ghoib dan beberapa majalah lain itu memang bercerita tentang bagaimana si tukang tipu ketika meninggal dunia, si anak durhaka ketika dijemput ajal, dan yang lainnya. Walau sebagian masih menyisipkan tayangan-tayangan mistik yang sarat dengan takhayul itu.
Kenapa tiba-tiba tayangan seperti itu laris manis tak ubahnya kacang goreng hingga mendapat tanggapan positif pemirsa dan mendapat rating yang luar biasa? Ada banyak alasan! Salah satunya, para pemirsa televisi saat ini sudah "bosan" dengan tayangan-tayangan sinetron yang mayoritas hanya menyuguhkan hiburan semata dengan menampilkan artis-artisnya yang cantik, seksi, etc. Sehingga mereka "rindu" tayangan-tayangan yang "mencerahkan", "mencerdaskan", tidak membodoh-bodohi dan mampu membangkitkan semangat dan menumbuhkan semangat jihad.
Rasanya tidak berlebihan kalau pada suatu saat kita berharap cerita-cerita Islami (cerpen maupun novel) yang selama ini mem-booming itu juga diangkat ke layar kaca atau bahkan layar lebar seperti halnya novel-novel Mira W. dan Hilman "Lupus" Hariwijaya. Kesuksesan Gola Gong yang berhasil mengusung novel triloginya, Pada-Mu Aku Bersimpuh dan serial baladanya Al-Bahri, Aku Datang dari Lautan ke layar sinetron itu patut untuk kita tiru. Novelis yang juga dikenal dengan "wartawan tanpa surat kabar" itu berhasil menghapus asumsi bahwa cerpen dan novel Islami -yang sebagian besar penulisnya adalah anggota Forum Lingkar Pena- yang selama ini beredar itu kurang "berbobot", tidak nyastra, karena –lagi-lagi kata orang- hanya berbicara tentang dunia hitam-putih, halal-haram, surga-neraka dan seputar Rohis. Padahal kalau kita mau sharing banyak karya anak FLP yang bisa dipertanggungjawabkan dan laris manis di pasaran. Kita ambil contoh Inayati dengan Atas Nama Cinta-nya (Pustaka Ummi, 2001) atau yang baru dan cukup fenomenal Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman El-Syirozy.
Sekitar tahun 2002, saya pernah menyaksikan sebuah tayangan "Cermin" di Lativi. Saya sempat terkejut karena hampir semua kisah yang saya saksikan sama dengan kisah di cerpen-cerpen yang pernah saya baca. Setelah saya membaca closing title pada akhir acara saya melihat logo majalah Annida. Akhirnya dugaan saya terbukti bahwa kisah-kisah yang ditayangkan "Cermin" sebagian besar diangkat dari cerpen Islami yang dimuat majalah Annida. Ada Koran Gondrong dan Sejuta Kasih Sayang karya Asma Nadia, Berhala-berhala yang Membunuh Subuh karya Endri Sulistyo, Pesta Pernikahan coretan Widi dan beberapa cerpen yang saya lupa judul dan penulisnya.
Kemudian pada momen 1 Muharram, RCTI menayangkan sebuah telesinema karya Helvy Tiana Rosa yang diangkat dari cerpen Diari Adelia di Salsabila yang terdapat dalam buku fenomenalnya Ketika Mas Gagah Pergi (Syaamil, 2000).
Lalu bagaimana caranya agar sebuah karya (cerpen dan novel) bisa diangkat ke layar kaca atau film? Bisakah karya kita juga "disulap" menjadi naskah skenario seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari atau Eiffel, I am in Love karya Rahmania Arunita? Why not?
Pertama, karya kita harus benar-benar bagus dan berbobot. Seperti apa cerita yang berbobot itu? Apakah yang bahasanya indah, nyastra, "mengangkasa" sehingga membuat "bingung" pembaca? :-) Tidak juga! Karena bagus tidaknya sebuah karya dilihat dari isi dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Pernah membaca Koran Gondrong karya Asma Nadia dan Rumah Besar Tanpa Jendela buah pena Fakhrunnas MA Jabbar? Dari segi bahasa kedua cerpen yang sudah diangkat ke layar kaca tersebut bisa dibilang "nggak nyastra-nyastra amat". Tapi coba amati pesan moral yang terkandung di dalamnya! Pasti kita akan tercengang dan tidak akan pernah menduga kalau ternyata cerpen tersebut begitu "dahsyat" dan membuat kita bergumam,"Sungguh saya tidak menduga…."
Kedua, karya kita paling tidak pernah mendapat penghargaan dalam sebuah sayembara. Karena dengan mendapat penghargaan berarti karya kita sudah benar-benar bagus dan teruji karena sudah berhasil menyisihkan ratusan atau bahkan ribuan karya lainnya.
Ketiga, angkat tema yang "tidak biasa" dan ramu dengan teknis penulisan yang juga tidak biasa. Sebenarnya ada banyak ide yang berserakan di sekitar kita. Kalau kita jeli mengamati kita akan menemukan ribuan ide yang mungkin masih belum dipungut oleh penulis-penulis lain. Fenomena kolong jembatan, penindasan, krisis moneter yang berkepanjangan atau bahkan tema "cinta" yang sampai saat ini masih bertahan di kancah perfilman Indonesia.
Kalau kita sudah mampu melahirkan karya-karya yang bermutu tentu dengan sendirinya para produser film akan "melamar" karya kita. Dan karya kita insya Allah bisa menyaingi laris manisnya Ada Apa dengan Cinta-nya Jujur Prananto atau Alexandria-nya Salman Aristo. So? Tak ada kata lain untuk bisa melahirkan karya bermutu selain menulis, menulis dan menulis. Mencoba, mencoba dan terus mencoba!
###
Sumenep, 14 Pebruari 2006

0 komentar:

Posting Komentar