Orang Bilang Aku Tak Pernah Tidak Beruntung

21.33 / Diposting oleh untung wahyudi /

Setiap orang tua pasti mengharapkan kelak anaknya bisa menjadi orang yang berguna, bermanfaat bagi orang lain. Hal itu tampak dari pilihan mereka memberikan nama kepada anak-anak mereka. Entah nama itu berasal dari bahasa Arab, bahasa Senksakerta atau bahasa lainnya. Pada intinya mereka yakin bahwa nama adalah doa. Nama Abdur Rahim misalnya. Mereka berharap dari nama itu kelak anaknya bisa menjadi anak yang senantiasa mempunyai kasih sayang, kepada siapa saja lebih-lebih kepada kedua orang tua.

Walaupun dewasa ini banyak sekali orang tua yang "latah" dan terpengaruh dengan nama-nama tokoh atau selebritis yang seringkali menghiasi layar televisi. Meskipun begitu dalam hati mereka tetap menginginkan anaknya—paling tidak—memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki sang tokoh kebanggaan mereka.

Dulu ketika masih kanak-kanak saya pernah minder dengan nama yang saya miliki; UNTUNG. Ya, nama itu menurut saya sangat unik karena jarang sekali teman-teman saya yang bernama Untung. Nama teman-teman saya—menurut saya—keren-keren waktu itu. Sehingga setiap kali nama saya diabsen oleh guru kelas ada saja salah seorang teman yang nyeletuk, "Untung terus, kapan ruginya?".

Sejak itulah otak saya berpikir dan berusaha mencari tahu "asbabun nuzul" nama Untung yang disematkan pada diri saya. Walhasil, akhirnya saya tahu bahwa orang tua saya memberikan nama tersebut bukan tanpa alasan.

Menurut orang tua, saya lahir dalam keadaan prematur. Usia kandungan Ibu masih sekitar tujuh bulan ketika saya lahir. Jelas kondisi saya—juga Ibu—waktu itu sangatlah kritis. Kata Bu De—orang yang merawat saya sejak saya lahir sampai saya berumur satu bulan—Ibu sering tidak sadarkan diri dan kondisinya sangat lemah. Makanya selama satu bulan saya diasuh oleh Bu De.

"Makanya saya beri nama kamu itu 'Untung'!" jelas Bapak suatu ketika. Akhirnya saya tahu bahwa Bapak seringkali memberikan nama anak-anak beliau sesuai dengan "asal-usul" atau sebab-musabab kelahirannya. Seperti salah seorang almarhum kakak saya yang oleh Bapak diberi nama 'Slamet'. Nah?

Hari berganti hari, bulan dan tahun pun berganti. Saya akhirnya sadar dan tahu bahwa betapa berharganya arti sebuah nama. Bahwa dari nama itulah pertama kali muncul harapan-harapan para orang tua. Makanya sejak kecil mereka berusaha menyayangi anak-anak mereka. Menyekolahkan mereka ke sekolah-sekolah favorit agar kelak menjadi orang yang pandai, yang berguna bagi masyarakat lebih-lebih bagi dirinya sendiri. Walaupun tidak sedikit di antara kita yang mau mengindahkan harapan orang tua tersebut. Kita masih suka berleha-leha, bersantai ria dengan membiarkan waktu dan hari-hari kita terbuang percuma tanpa berpikir untuk menambah pengalaman dan keilmuan kita. Bahkan, naudzubillahi min dzalik, ada anak yang berani berdurhaka kepada kedua orang tua dengan menyakiti perasaan mereka. Bahkan lebih dari itu mereka berani membunuh orang tua. Ada apa dengan dunia? Benarkah hari kiamat sudah dekat? Padahal jelas Rasulullah bersabda: "Ridha Allah terletak pada ridha orang tua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orang tua..."

***

Banyak orang bilang—terutama teman-teman dekat saya—kalau saya selalu beruntung di segala hal. Terutama ketika selama enam tahun saya hidup di pesantren. Banyak sekali yang mengatakan kalau saya adalah "Untung yang Selalu Beruntung". Padahal munurut saya biasa-biasa saja. Saya tidak selalu beruntung seperti yang mereka kira. Saya sendiri malah selalu merasa "tidak beruntung". Itu terbukti dengan kegagalan-kegagalan yang saya alami pada setiap episode kehidupan saya.

Saya pernah gagal kuliah karena tidak mempunyai uang cukup untuk biaya kuliah. Sementara orang tua sudah "menyerah" karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan saya untuk melanjutkan kuliah. Begitu juga ketika saya mengikuti "Test Beasiswa Akselerasi S1" untuk guru-guru pesantren yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Lagi-lagi saya gagal karena nama saya tidak tercantum dalam daftar peserta yang lulus. Apakah mereka masih mau mengatakan kalau saya selalu beruntung? Tidak, kan?

Namun beberapa waktu setelah pengumuman pelulusan. Dan salah seorang rekan di pesantren yang lulus murni dalam seleksi beasiswa ini telah mengikuti masa orientasi di Kantor Departemen Agama Wilayah Jawa Timur, saya ditelepon oleh pengasuh pesantren.

"Untung, kamu ada panggilan dari Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Nanti malam harus sudah berangkat dengan membawa persyaratan-persyaratan berikut, bla…bla…bla…"

Saya tutup telepon dengan pikiran yang masih diliputi rasa tidak percaya. Benarkah? Apa saya tidak salah dengar? Bukankah saya sudah dinyatakan tidak lulus?

Tanpa berpikir lama saya hubungi rekan saya yang sudah ada di kampus IAIN Sunan Ampel. Ternyata benar. Saya termasuk dalam daftar salah seorang calon mahasiswa yang lulus susulan karena ada beberapa peserta yang mengundurkan diri.

Saya tidak henti-hentinya bertahmid, bersyukur atas kemurahan dan kasih sayang Allah. Akhirnya mimpi saya untuk menjadi mahasiswa terwujud. Saya yakin ini adalah hadiah berkat "kesabaran" saya sekaligus teguran agar tidak lagi beranggapan bahwa saya adalah "Untung yang Tidak Beruntung". Bahwa saya—seperti kata teman-teman—adalah "Untung yang tak pernah tidak beruntung." Amin. Insya Allah…

***

Pesantren Mahasiswa AN-NUR Surabaya, 24 Mei 2008

0 komentar:

Posting Komentar