Lingkaran Setan

22.46 / Diposting oleh untung wahyudi /

“Sesuai sabda Rasulullah, bahwa; barang siapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu menanyakannya tentang sesuatu dan percaya terhadap apa yang disampaikannya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.”
Kahar terkesiap mendengar taushiyah Ustadz Taufik, guru ngajinya semasa ia kecil. Malam itu ia sengaja nyabis ke dalem beliau untuk menanyakan perihal syirik, klenik dan sejenis yang kian marak di kampungnya.
Ada masalah besar yang harus ia pecahkan dalam keluarganya saat ini. Ia harus berbuat sesuatu agar peristiwa langka yang sudah dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat Ellak Daya itu tidak terjadi.
“Tapi justru mereka sangat percaya dengan semua perkataan dukun, Ustadz.” Sela Kahar seraya menyeruput segelas kopi yang dihidangkan guru ngajinya itu.
“Begitulah, Har. Karena para dukun itu memang seringkali meminta kekuatan jin untuk sesuatu yang akan dia katakan.”
Pemuda itu terpekur. Pikirannya tiba-tiba saja terseret pada peristiwa “percekcokan” yang terjadi antara dirinya dan Pak Lik Parman, adik bungsu Bapaknya yang meninggal tiga hari yang lalu. Menurutnya, rencana Pak Lik itu sudah keterlaluan. Sudah di luar batas kewajaran. Padahal kecurigaan yang bercokol dalam kepala Pak Lik itu belum tentu benar. Kahar tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba saja Pak Lik menghubung-hubungkan kematian Bapaknya dengan para dukun yang selama ini tidak ia sukai.
Kematian Bapak yang meninggal dengan perut membusung itu memang tidak wajar. Kena sihir, kata kebanyakan orang. Tapi ia sama sekali tidak percaya. Pikirannya menentang keras rencana Pak Lik yang ingin adungkep arwah Bapak untuk minta “keterangan”, siapa yang telah mencelakai beliau sebelum dijemput ajal.
“Pokoknya Kahar tidak setuju! Biarkanlah arwah Bapak tenang di alam kubur sana!” Seru Kahar mencoba menyampaikan gemuruh dalam hatinya. Hatinya bergetar menahan emosi yang kian membuncah.
Ruang tamu yang cukup luas itu tiba-tiba memanas. Emosi pamannya nyaris meledak. Emak pun tampak khawatir dengan suasana menegangkan yang tiba-tiba menyelimuti suasana pertemuan keluarga itu.
“Pak Lik hanya ingin tahu siapa sebenarnya orang yang telah mencelakakan Bapakmu, Har.” Lelaki empat puluh tahun di depan Kahar itu mencoba menanggapi ucapannya.
“Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kahar tidak mau ada dukun menginjakkan kakinya ke rumah kita ini, apalagi sampai “mengganggu” arwah Bapak. Kita kan sudah tahu kalau Bapak itu meninggal karena sakit.” Kahar kian emosi. Pak Lik-nya hanya mendengus. Tidak mengerti dengan jalan pikiran keponakannya itu. Menurutnya sifat Kahar tidak jauh beda dengan sifat mendiang kakaknya yang keras kepala.
“Tapi penyakit yang diderita Bapakmu itu bukan penyakit biasa, Har. Ini jelas ulah seseorang yang iri terhadap Bapakmu!” nada suara Pak Lik Parman mulai meninggi. Pertanda kalau kesabarannya mulai menipis. Ia paling tidak suka kalau ada anak yang “masih ingusan” membantah keinginannya.
Sepi. Hening menyelimut. Ruang tamu yang biasa dipakai keluarga untuk bercengkrama itu tiba-tiba sunyi. Tak ada suara untuk beberapa saat. Semua larut dalam pikiran mereka masing-masing.
“Emak paham perasaanmu, Har. Tapi biarlah kita beri kesempatan Pak Lik-mu untuk mencoba. Siapa tahu kita dapat ‘petunjuk’, siapa sebenarnya yang telah berbuat jahat pada Bapakmu.” Seru wanita setengah baya di samping Kahar mencoba menengahi. Beliau tidak mau suasana musyawarah keluarga itu kian memanas.
Kahar nyaris tersedak. Ia baru ingat kalau Emak juga sangat percaya dengan hal-hal yang berbau mistik. Itu ia ketahui saat ia kerap memergoki Emak membakar dupa dan kemenyan yang konon dipercaya sebagai penolak marabahaya dan pengusir cobeh di malam Jum’at.
“Emakmu benar, Har. Ini satu-satunya cara untuk mengungkap rahasia di balik kematian Bapakmu.” Bu Lik Marni, istri Pak Lik Parman menimpali. Mencoba meyakinkan hati Kahar.
Pemuda dua puluh lima tahun itu bangkit. Ia menyeret langkahnya ke kamar, meninggalkan sanak keluarganya yang masih melanjutkan musyawarah untuk sebuah rencana besar di hari ketujuh kematian Bapaknya.
“Aku tidak mau terlibat dalam masalah ini,” pikir Kahar seraya menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Matanya tajam menatap langit-langit kamar. Seolah-olah ada sesuatu yang ia cari. Semenjak Bapak meninggal ada yang berubah memang di rumahnya ini. Ia kian takut keluarganya semakin jauh terperangkap dalam jaring-jaring setan yang siap meracuni dan mencabik-cabik akidah mereka.
“Aku harus bisa menggagalkan rencana ini!” Untuk kesekian kalinya ia menghembuskan nafas. Ia mencoba memejamkan matanya dan berusaha memadamkan api kemarahan dalam hatinya. Bantu hamba ya, Allah…. Bisiknya lirih. Selirih desah risau angin yang menyelusup lewat jendela kamarnya
***
Kahar akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Ia seolah-olah tidak berminat keluar rumah walau sekadar ke ladang untuk mengurus kebun sawi yang pernah digarap Bapak. Ia tidak mau mendengar desas-desus para tetangga yang ternyata juga percaya kalau orang tuanya meninggal gara-gara santet, sihir dan semacamnya. Apalagi mereka juga tahu rencana keluarganya yang akan mendatangkan “orang pintar” pada hari ketujuh kematian Bapaknya nanti.
“Berarti keluargaku sudah menjadi bahan omongan orang sekampung?” Pikiran Kahar kian kalut. Ia semakin bingung. Tak tahu apa yang harus ia perbuat untuk mencegah “rencana gila” Pak Lik-nya.
***
Adzan Isya’ baru saja berkumandang dari loadspeaker langgar dan masjid kampung. Kahar mempercepat langkahnya menuju rumah Ustadz Taufik yang lumayan jauh dari rumahnya itu. Ia ingin mencari solusi. Ia mau meminta bantuan guru ngajinya untuk menggagalkan rencana pamannya.
“Sebenarnya saya juga prihatin dengan keluargamu, Har. Kenapa mereka kok masih percaya dengan permainan dukun yang jelas-jelas akan menjerumuskan mereka itu.” Ustadz Taufik mendesah. Beliau menatap wajah Kahar yang tampak kuyu. Kusut. Beliau tahu apa yang sekarang sedang bergolak dalam hati salah seorang anak didiknya itu. Sebenarnya laki-laki paruh abad itu juga mempunyai hasrat untuk mencegah rencana keluarga Kahar. Tapi keinginan itu tiba-tiba surut saat ia sadar kalau dirinya hanya seorang Kajih di kampung ini. Apalagi kepercayaan terhadap hal-hal berbau syirik itu sudah mengakar di masyarakat. Sulit rasanya untuk mencegah kebiasaan mereka yang sering menghubung-hubungkan sebuah peristiwa dengan hal-hal kedukunan.
“Begitulah, Ustadz. Saya semakin pusing. Dua hari lagi rencana itu akan dilaksanakan. Saya tidak tahu harus berbuat apa.” Keluh pemuda itu.
“Begini saja. Kau ajak lagi keluargamu bermusyawarah. Siapa tahu mereka berubah pikiran.” Ujar Ustadz Taufik mencoba memberi solusi.
Kahar hanya diam. “Justru mereka sudah tidak bisa diajak bicara lagi,” bisiknya dalam hati. Pikirannya semakin kalut. Gemuruh dalam hatinya kian keras berdebur. Ia bisa saja kabur dan menghilang dari rumah untuk beberapa hari agar tidak bisa menyaksikan “peristiwa seram” itu. Tapi itu bukan jalan terbaik. Kalau itu ia lakukan berarti ia lari dari masalah. Tapi?
“Saya hanya takut kalau sampai keluarga saya mencurigai seseorang tanpa bukti yang jelas. Apalagi kalau warga juga tahu. Saya tidak ingin ada korban akibat ritual yang jelas-jelas menyesatkan itu.” Kahar kembali tercenung. Pikirannya sarat dengan rasa khawatir yang semakin membuat hatinya tidak tenang.
***
Angin senja di komplek kuburan umum di sudut kampung itu bertiup perlahan. Aroma bunga kamboja menusuk-nusuk hidung setiap orang yang menciumnya.
Kahar masih duduk mematung di sisi pusara Bapaknya. Tangannya meremas-remas tanah merah di depannya. Matanya sembab. Bening-bening kristal di sudut matanya mengalir perlahan. Ia mengutuki diri atas ketidakberdayaannya untuk mencegah rencana keluarganya. Sesuai rencana, sesudah maghrib di hari ketujuh kematian Bapaknya ini ritual itu akan dilaksanakan.
“Maafkan Kahar, Pak. Kahar tidak bisa mencegah rencana mereka. Semoga Allah membukakan hati mereka. Semoga hati mereka yang membatu kembali mencair oleh percik hidayah-Nya.” Kahar memegang batu nisan Bapaknya. Bibirnya bergetar. Ia terus berdoa dan berdoa. Karena sebentar lagi ritual menegangkan itu akan dilaksanakan. Ia hanya berharap semoga apa yang akan mereka lakukan itu tidak akan menyeret seseorang menjadi tersangka. Ia tidak ingin ada korban kemarahan warga. Ia tidak mau ada pertumpahan darah di kampungnya.
“Wah, dicari-cari dari tadi ternyata sudah ada di sini.” Sebuah suara membuyarkan lamunannya. Ia menolehkan wajahnya. Benar! Mereka sudah datang. Mereka yang akan adungkep arwah Bapak sudah tiba di lokasi kuburan. Kahar mundur beberapa langkah, membiarkan seorang dukun yang diikuti paman, dan beberapa anggota keluarganya menempati sisi kiri kuburan orang tuanya. Ia sendiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon waru di tepi kuburan.
“Baiklah. Saya harap semua yang ada di sini untuk memusatkan pikirannya masing-masing. Jangan sampai ada yang berteriak kalau nanti ada suara-suara asing yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah kita ini. Demi keselamatan warga, dan agar tidak ada korban lagi di kampung ini, kita harus berhasil melakukan ritual ini.” seorang berpakaian serba hitam yang akan memimpin ritual itu bersuara. Memberikan arahan-arahan sebelum memulai ritualnya.
Sebentar kemudian ritual itu pun dimulai. Semua sesaji yang dipersiapkan ditaruh tepat di sisi kanan kuburan. Asap dupa mengepul di antara aroma kemenyan yang menusuk-nusuk penciuman.
Semua yang hadir di lokasi pemakaman itu tampak berkonsentrasi. Semua diam. Suasana tampak sepi. Sunyi. Hanya desir angin ditingkahi suara serangga di semak-semak belukar yang terdengar. Bulu-bulu roma mereka meremang. Kahar pun memejamkan matanya. Hatinya terus berdzikir ketika tiba-tiba sebuah suara asing entah dari mana hadir. Berdenging dan mengusik konsentrasi semua yang hadir di pemakaman itu. Dan suara aneh itulah yang mereka tunggu selama ini. Sebuah suara yang akan menjawab semua pertanyaan dukun yang memimpin ritual itu. Sebuah bisikan yang akan menjadi jawaban atas tanda tanya besar yang melekat di benak warga kampung Ellak Daya yang penasaran siapa sebenarnya di antara mereka yang memiliki ilmu hitam.
Kahar mencoba untuk tetap memejamkan matanya. Namun suara asing itu seolah-olah memaksanya untuk membuka mata. Suara itu… ya, suara itu mirip suara Bapak. Persis. Tapi benarkah arwah Bapak juga hadir di tempat ini? Atau ini hanya akal-akalan dukun saja untuk mempengaruhi keyakinan keluarganya? Kahar tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tidak memedulikan suara-suara asing itu. Bibirnya masih bergetar, beristighfar.
***
Kahar baru saja mengakhiri rakaat terakhir shalat Isya’-nya saat pendengarannya menangkap suara gaduh dari seberang jalan. Suara-suara itu kian jelas terdengar. Kahar menguak jendela kamarnya. Ia terkejut bukan main saat melihat puluhan warga membawa obor dan benda-benda tajam di tangan mereka. Mereka mengacung-acungkan benda-benda tajam itu ke udara. Tampak benda-benda itu mengkilat tertimpa cahaya obor yang mereka bawa.
Kahar buru-buru menanggalkan sarungnya dan langsung keluar dari pintu belakang. Ia mau mengikuti mereka. Ia harus tahu apa yang akan mereka lakukan.
Pemuda itu terus mengendap-endap. Menyisir jalan yang tampak gelap. Ia berhenti sejenak saat melihat orang-orang kampung itu menuju kediaman Ustadz Taufik yang bersebelahan dengan balai desa.
“Apa yang akan mereka lakukan terhadap beliau?” Pikiran Kahar semakin kacau. Konsentrasinya pecah berantakan. Ia berusaha mempercepat langkahnya. Namun langkah kakinya tiba-tiba berat, seolah-olah ada kekuatan gaib yang menahan dan menarik-narik kedua kakinya. Ia terjerembab saat kakinya tersangkut sebuah ranting kayu yang menghalangi langkahnya. Sorot matanya tak lepas memandangi langgar dan rumah guru ngajinya dari kejauhan. Pandangannya tiba-tiba saja mengabur saat ia dengan jelas melihat kobaran api membubung dan membungkus rumah Ustadz Taufik.
Hawa dingin yang menggigit malam itu tiba-tiba lenyap oleh kobaran api yang kian meninggi, melumat habis rumah seorang guru ngaji yang selama ini cukup disegani.
“Ya Allah, lindungi Ustadz hamba. Selamatkan beliau dari panas bara api sebagaimana Engkau menjadikan api yang membungkus tubuh Nabi Ibrahim air salju yang sangat dingin.” Kahar mengangkat kedua tangannya. Tengadah di antara kepak sayap ribuan malaikat yang turut mengamini doa-doanya.
***
Sumenep, 22 Mei 2005

Keterangan:

1. Nyabis : Berkunjung
2. Dalem : Kediaman
3. Kajih : Guru ngaji
4. Cobeh : Dedemit, hantu dan sejenisnya
5. Adungkep : Salah satu cara yang dilakukan seorang dukun untuk mengundang
arwah seseorang yang sudah meninggal. Biasanya dilakukan jika ada
yang meninggal kurang wajar (kata orang kena santet atau sihir)

0 komentar:

Posting Komentar