Mimpi Jadi Penulis

22.38 / Diposting oleh untung wahyudi /

Saya kadang-kadang masih tidak percaya melihat tumpukan naskah cerpen (yang lebih tebal dari draft skripsi), puluhan artikel dan puluhan puisi yang selama ini saya buat. Saya tidak pernah menduga kalau saya bisa melahirkan naskah tulisan yang kata kebanyakan orang hanya dimiliki oleh "orang khusus" atau orang yang berbakat saja.
Berbicara masalah bakat, mungkin saya termasuk orang kurang bakat dalam hal tulis menulis. Mengingat saya, sama sekali tidak mempunyai latar pendidikan khusus di bidang ini. Saya bukan mahasiswa komunikasi apalagi sastra. Latar pendidikan saya hanya SMA swasta yang sama sekali tidak secara khusus mencetak para siswanya untuk piawai di bidang tulis menulis. Lalu kenapa saya tiba-tiba bisa menulis ratusan lembar cerpen atau puluhan artikel?
Dulu, ketika saya duduk di kelas 1 SLTP, saya masih ingat, Bapak Wali kelas mewajibkan anak-anak untuk mempunyai buku diary (catatan harian). Buku catatan kegiatan sehari-sehari di sekolah atau di rumah. Kami, oleh beliau diharuskan untuk menulis setiap hari apa saja yang kami alami. Pengalaman di kelas, di rumah atau di tempat lain. Saya sendiri kurang "ngeh" juga dengan tugas wali kelas yang bagi sebagian anak memberatkan itu. Bagaimana mungkin kami sempat untuk menulis hal-hal yang kami alami setiap hari, padahal kami sudah cukup disibukkan dengan tugas-tugas sekolah.
Walhasil, saya sendiri mulai mempraktikkan tugas wali kelas itu. Setiap hari saya menuliskan apa saja yang saya alami di buku harian tersebut. Puisi, pantun dan yang lainnya. Semua saya tulis. Dari kebiasaan menulis catatan harian inilah hati saya tiba-tiba dihinggapi rasa senang menulis buku harian. Bahkan, saat duduk di kelas 3 SLTP, buku harian saya penuh dengan puisi-puisi romantis yang saya tulis khusus "seseorang" yang menarik perhatian saya waktu itu. Walau sampai saat ini "puisi-puisi cinta" itu hanya jadi dokumen pribadi dan tidak pernah saya kirimkan pada "si doi". Puisi-puisi yang kalau saya baca sekarang membuat saya senyum-senyum sendiri itu saya simpan sebagai kenangan indah masa remaja (ce ileh…)
Menginjak masa SMA, kebiasaan saya itu masih saya tekuni. Saya bahkan semakin keranjingan menulis. Saya mulai coba-coba mengarang cerpen yang kadang saya muat di Mading (majalah dinding) kelas. Cerita-cerita khas masa remaja yang –lagi-lagi-- beraroma cinta. Saya juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba saya menulis karya yang begituan. Mungkin karena waktu itu saya punya hobi membaca. Sebuah hobi yang saya jalani setelah saya mempunyai kebiasaan menulis diary. Hampir setiap membaca majalah atau buku yang saya baca, dalam hati saya tumbuh keinginan untuk menjadi seorang penulis. Bahkan setiap melihat nama penulis di sampul buku yang saya baca, saya sering membayangkan nama saya lah yang tercantum di cover buku tersebut.
Keinginan saya untuk menjadi punulis itu pun semakin menjadi-jadi saat ada seorang kakak kelas yang "menantang" saya untuk menulis karya yang katanya berbobot, lebih bermuatan dan tidak hanya sekadar berfungsi sebagai hiburan. Saya ditantang untuk menulis cerpen atau puisi yang katanya Islami, karya yang ada pesan moral di dalamnya. Akhirnya dengan susah payah saya mencoba menulis tulisan dengan tema Islami. Tantangan itu menyeret saya untuk lebih serius membaca karya para penulis terkenal yang sudah berkali-kali karya mereka mejeng di majalah.
Pilihan saya waktu itu adalah majalah Annida, sebuah majalah remaja yang isinya mayoritas cerita Islami. Saya terus belajar. Menulis dan terus menulis. Walau masih belum memenuhi standar penulisan yang baik. Saya cuek dengan kritikan teman saya yang saya "kontrak" khusus untuk mengoreksi tulisan saya itu. Walhasil, tulisan saya dibantai habis. Sampai waktu yang cukup lama, akhirnya tulisan saya mulai "dipuji" dan dikomentari. Bahwa tulisan saya sudah lebih bermuatan dari tulisan saya sebelumnya yang hanya melulu bercerita tentang "cinta monyet". Walau saya pernah tidak menduga kalau ternyata "cerpen cinta" saya pernah membuat seorang adik kelas menangis setelah membaca cerpen saya tersebut. Dia bilang, kisah dalam cerpen tersebut sama persis dengan kisah masa lalunya (he… he… padahal itu asli hasil imajinasi saya, bukan kisah nyata).
Saya terus menulis dan menulis. Sampai suatu ketika ada hasrat untuk mengirimkankannya ke media. Majalah atau koran. Saat duduk di kelas 2 SMA, saya mulai berani mengirimkan tulisan saya ke media. Cerpen, artikel, puisi atau resensi. Walau sampai waktu yang cukup lama, tulisan yang saya harap bisa mejeng di majalah itu tidak nongol-nongol juga. Sampai saya benar-benar frustrasi. Bahkan saya pernah punya niat untuk berhenti menulis. Mungkin memang tidak bakat, pikir saya waktu itu. Untung semangat itu kembali menyala setelah saya membaca pengalaman para penulis yang dengan susah payah berjuang sampai akhirnya tulisan mereka berhasil memikat redaktur majalah. Joni Ariadinata misalnya, yang namanya saat ini sudah tidak asing lagi di kancah kesusastraan Indonesia. Berkali-kali tulisannya ditolak redaktur majalah. Tulisan-tulisannya tidak ada yang dimuat di media. Bahkan sampai mendekati angka 500-an (lima ratusan), cerpen yang dia tulis tidak pernah dimuat. Hingga pada 1994, cerpennya Lampor langsung dimuat dan menjadi juara di harian Kompas. Sebuah prestasi yang gemilang, karena dia melalui perjuangan yang cukup menyedihkan.
Awal Pebruari 2003, sekolah saya mendapat kiriman surat dari sebuah penerbit di Yogyakarta. Pihak penerbit itu mengajak para santri (saya tegaskan di sini kalau saya sekolah di pesantren) untuk ikut berpartisipasi dalam rencana penerbitan buku Kumpulan Cerpen dengan tema pesantren. Cerpen-cerpen dalam buku tersebut dikhususkan untuk para santri atau alumni pesantren yang bisa menulis cerpen dengan tema yang dimaksud. Mendengar kabar itu dalam kepala saya langsung menyala sebuah lampu yang berpijar-pijar. Akhirnya saya bongkar naskah-naskah saya yang dulu pernah singgah di meja redaksi majalah yang saya kirimi. Saya edit lagi, “modifikasi” sana-sini dan saya kirimkan ke penerbit tersebut. Karena waktu pengiriman hanya satu bulan.
Alhamdulillah, di antara sepuluh cerpen yang saya kirimkan, ada satu naskah dengan judul Sahabat Sejati yang menarik perhatian tim penyeleksi. Cerpen dengan tema persahabatan itu ikut mejeng di sebuah buku Kopiah dan Kunfayakuun (GitaNagari, 2003) yang sempat membuat saya nyaris "smaput" saking gembiranya. Itu untuk pertama kalinya tulisan saya dimuat. Bukan di majalah seperti yang pernah saya impikan dulu, tapi di sebuah buku Antologi Cerpen! Setelah "peristiwa besar" itulah saya mulai rajin lagi menulis dan mengirimkannya ke media. Dan saya semakin tidak percaya karena dalam waktu yang berdekatan, tulisan-tulisan saya saling susul-menyusul mejeng di majalah atau koran yang saya kirimi. Dari cerpen, artikel bahkan berita-berita ringan seputar pesantren kerap dimuat di media massa.
Tahun 2003 akhir, saya bergabung dengan organisasi Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah oganisasi kepenulisan yang sampai sekarang sudah melahirkan ratusan penulis dari semua jenjang usia. Dari yang masih di bawah umur sampai yang cukup tua. Semua saling berlomba untuk memperbaiki kwalitas karya. Mereka saling berbagi pengalaman menulis, kiat-kiat menembus media bahkan saling menjembatani ke penerbit-penerbit yang bersedia menerbitkan karya para anggota FLP. Semangat saya semakin meletup-letup untuk menjadi penulis seperti mereka. Walau sampai saat ini, saya masih sering bergantung pada mood ketika hendak menulis. Sebuah "momok" yang berusaha saya singkirkan. Karena konon Putu Wijaya justru tidak menulis ketika mood datang. Dia tidak mau "diperbudak" oleh mood.
Baru-baru ini saya tertarik sekali dengan konsep yang disuguhkan Hernowo, penulis buku laris yang berkaitan dengan kegiatan membaca-menulis. Lewat bukunya Mengikat Makna Sehari-hari saya akhirnya tersadar, kalau kegiatan membaca dan menulis adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Bagai dua sisi mata uang. Selamanya akan tetap dan selalu beriringan. Kita tidak akan bisa menulis kalau kita tidak pernah membaca. Dengan menulis kita akan menemukan keunikan-keunikan yang tersembunyi dalam diri kita. Dengan banyak melahap buku-buku bergizi kita akan lebih kaya. Kaya akan referensi, kaya akan kosa kata baru yang kita temukan dalam buku tersebut.
Saya tiba-tiba teringat pepatah Arab yang dipopulerkan oleh Imam Syafi'ie; "Al-'ilmu shaydun walkitaabatu qayduhu / Qayyid shuyuudaka bilhibaali al-waatsiqah" Yang artinya kurang lebih seperti ini: "Ilmu itu ibarat buruan, dan tulisan adalah pengikatnya. Ikatlah buruan kamu dengan tali yang kuat." Sebuah ungkapan yang saya yakin tidak jauh berbeda dengan filosofi Hernowo, "Mengikat Makna".
Jadi, untuk menjaga ilmu kita, supaya "buruan" yang kita dapat dari berbagai jenis buku itu tidak "lari" kemana-mana, maka kita harus mengikat dan "menyandera"-nya dengan kuat. Dan kita tidak bisa mengikatnya dengan alat lain kecuali dengan pena, dengan tulisan. So, ikatlah buruan anda agar tidak lari kemana-mana!
***
Sumenep, 01 April 2006

0 komentar:

Posting Komentar