Gara-Gara "KISS"

21.15 / Diposting oleh untung wahyudi /

Hidup di pesantren bukan berarti tidak bisa menjadi penulis. Buktinya banyak sastrawan atau penulis yang lahir dari tempat yang konon disebut sebagai tempat yang jauh dari informasi tersebut. Sebut saja misalnya Abdul Hadi WM, Jamal D. Rahman atau yang sedang naik daun, Habiburrahman el-Syirazi yang namanya melejit di kancah kesusastraan Indonesia lewat novel fenomenalnya Ayat-Ayat Cinta. Mereka adalah beberapa penulis yang lahir dari “dunia kecil” bernama pesantren.

Beruntung sekali saya dulu ketika duduk di bangku MTs (SMP) mempunyai seorang wali kelas yang mempunyai kepedulian besar terhadap dunia tulis menulis. Waktu itu wali kelas kami membelikan kami buku setebal seratus halaman yang sudah disampul rapi. Di halaman sampul tertulis “KISS” yang sempat membuat anggota kelas bertanya-tanya makna di balik tulisan tersebut.

Iseng kami mencoba bertanya kepada wali kelas untuk apa buku dan makna di balik tulisan “KISS” di sampul depan buku tebal itu.

“KISS adalah akronim dari Kreatifitas dan Imajinasi Santri. Semacam buku diary yang berisi kegiatan sehari-hari kalian. Jadi saya harapkan kalian bisa menulis semua pengalaman yang kalian alami di pesantren. Baik yang sedih, cerita bahagia dan yang lucu sekalipun. Boleh kalian mengisi dengan puisi karya kalian, cerpen atau apa saja yang menarik bagi kalian.” Dengan panjang lebar wali kelas kami menjelaskan di depan kelas. “Dan kalian wajib mengumpulkan buku ini setiap minggu. Karena saya ingin tahu siapa yang menulis dan siapa yang sama sekali tidak menulis. Sebagai penghargaan, saya akan memuat tulisan terbaik kalian dalam majalah dinding yang akan kita terbitkan nanti.” Lanjut wali kelas.

Respon santri tentu bermacam-macam. Ada yang suka dan ada juga yang kurang suka terutama para santri yang merasa tidak mempunyai waktu untuk sekadar menulis satu-dua baris tulisan dalam buku tersebut.

Saya sendiri merespon sangat positif ide wali kelas kami tersebut, tentu karena saya merasa ini adalah demi kreatifitas dan perkembangan santri dalam dunia tulis menulis.

Sejak saat itulah saya mulai mengisi buku agenda itu dengan satu-dua kalimat tentang apa saja yang saya alami di pesantren. Awalnya sangat susah sekali menumpahkah isi kepala ke dalam selembar kertas itu, karena saya memang masih belum terbiasa menulis buku diary. Tapi saya berusaha untuk terus mencoba dan memaksa “mentransfer’ isi kepala ke dalam buku diary tersebut. Walhasil, saya tetap buntu. Kalimat yang menari-nari di dalam kepala tidak jua bisa ditumpahkan ke selembar kertas yang saya isi di waktu-waktu kosong setelah kegiatan pesantren, atau menjelang tidur malam. Namun saya tetap bertekad untuk mengisi buku tersebut. Dan alhamdulillah, setelah lama memeras otak kalimat demi kalimat mengalir deras seperti hujan yang terus menghunjam bumi. Dan akhirnya lembaran-lembaran kertas dalam buku saya basah oleh tinta yang berisi curahan hati saya.

Kegiatan ini lama kelamaan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi saya. Karena saya merasa mempunyai teman curhat yang bisa saya ajak berkomunikasi ketika saya dikepung berbagai masalah di pesantren. Saya merasa tidak sendirian lagi karena saya memang sedikit “introvet” alias “kurang gaul”. Buku agenda tersebut tidak lagi sekadar berisi “curhat cengeng”, tapi juga berisi puisi-puisi yang saya tulis. Entah dari mana bekal menulis puisi tersebut, saya sama sekali tidak menduga. Tiba-tiba saja saya menjadi “pujangga dadakan”. Meskipun waktu itu puisi-puisi saya tidak jauh dari tema “merah jambu” seperti karya para SBG (Santri Baru Gede) pada umumnya. Dan saya tidak menduga kalau pada akhirnya saya juga bisa menulis cerita pendek. Cerita-cerita keseharian di pesantren saya rangkai menjadi cerpen yang temanya –lagi-lagi- tidak jauh dari tema-tema “cinta monyet”.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, buku agenda saya penuh dengan puisi dan cerpen-cerpen yang saya tulis di waktu-waktu senggang. Teman-teman sekelas yang mengetahui saya menulis cerpen banyak yang meminjam. Awalnya saya keberatan karena khawatir mereka mengira cerita-cerita tersebut adalah pengalaman pribadi saya. Tapi akhirnya saya memberi mereka izin untuk membaca cerita-cerita saya. Dan tak pelak lagi, buku-buku cerpen saya saling berpindah tangan. Dari santri yang satu ke santri yang lainnya. Bahkan ada santriwati yang tertarik membaca cerpen-cerpen saya. Akhirnya, buku cerpen saya beredar di kalangan santri putri.

Seminggu kemudian saya mendapat kiriman sepucuk surat dari seorang santriwati. Ah, saya ragu untuk membuka dan membaca surat tersebut karena di pesantren memang sangat tabu kalau ada santri berkirim surat kepada santriwati atau sebaliknya.

“Dik, saya sudah membaca semua cerpen-cerpen kamu. Semuanya bagus dan membuat kami yang membacanya terharu. Bahkan ada seorang santriwati yang menangis setelah membaca cerpen kamu yang berjudul Menari di Atas Luka. Katanya sih, ceritanya persis dengan kisah masa lalunya sebelum masuk pesantren.”

Saya sedikit “shok” membaca isi surat dari kakak kelas itu. Karena saya sama sekali tidak menyangka kalau cerpen saya membuat teman-teman yang membacanya sedih. Padahal asli cerpen itu hanya imajinasi saya saja.

“Tapi kalau boleh saya kasih ide. Adik coba menulis cerpen yang lebih “bermuatan”, yang lebih islami. Karena selain menghibur cerpen itu bisa mengandung ibroh. Bisa menjadi pelajaran berharga bagi orang yang membacanya. Saya punya majalah Annida yang memuat cerpen-cerpen islami. Kalau kamu mau besok saya bawa ke kelas…”

Cerpen islami? Cerpen seperti apa? Emang ada cerpen yang islami? Beribu pertanyaan tiba-tiba menghujani pikiran saya. Saya merasa tertantang untuk menulis cerpen seperti yang kakak kelas itu maksud.

Keesokan harinya kakak kelas saya membawakan saya beberapa majalah Annida bekas. Saya tidak tahu seperti apa isi majalah tersebut karena sebelumnya saya memang tidak pernah membaca majalah dengan tampilan sederhana itu. Tanpa ba-bi-bu lagi saya langsung memborong majalah tersebut dan membacanya di kelas. Ada beberapa cerpen yang sampai saat ini masih saya ingat judulnya. Ada Doa buat Sari karya Sinta Yudisia, Dara Hitam tulisan Helvy Tiana Rosa, Koran Gondrong karya Asma Nadia, Nyayian Anak Jalanan karya gola Gong dan beberapa cerpen yang saya lupa judul dan nama penulisnya. Saya terus membaca cerpen-cerpen dalam majalah yang mempunyai motto Sahabat Remaja Berbagi Cerita tersebut.

Saya akhirnya mencoba menulis cerpen dengan tema seperti yang ada di Annida. Wah, rasanya sulit sekali. Saya akhirnya berpikir, apa cerpen yang islami itu harus ada kata ‘Assalamu’alaikum’ pada kalimat pembuka, atau ayat Al-Quran atau hadits pada ending ceritanya. Tapi saya lihat dalam majalah Annida tidak seperti itu. Lalu apanya yang Islami? Akhirnya setelah saya mencoba berpikir, ternyata yang ada unsur islaminya itu adalah isinya, bukan karena ada salam atau “khotbah jum’at” di dalam cerpen tersebut.

Saya kembali berjuang untuk menulis cerpen yang katanya islami itu. Satu, dua, tiga dan akhirnya beberapa cerpen berhasil saya tulis meskipun tentu saja kualitasnya jauh sekali dengan cerpen-cerpen yang ada di Annida. Dan tiba-tiba saya ingin sekali cerpen yang saya tulis nongkrong juga di majalah remaja seperti Annida atau majalah Aneka Yess! yang pernah saya baca. Tapi apa bisa? Wong cerpen saya masih jauh dari standar. Tapi saya lagi-lagi bertekad dan “PEDE” mengirimkan karya-karya saya ke beberapa majalah, bahkan Annida yang termasuk majalah nasional itu saya kirimi cerpen. Tidak peduli redaksi mau memuat atau membuang cerpen saya ke tong sampah. Yang penting saya sudah berusaha.

Bosan juga menunggu tulisan dimuat. Mungkin cerpen saya memang sudah dibuang atau ikut dijual ke loakan untuk dibuat bungkus kacang. Ah, tega nian? Saya menulis semua itu kan sampai bercucuran keringat, bahkan untuk membeli perangko saya rela menyisihkan uang jajan kiriman dari orang tua.

Satu tahun, dua tahun. Cerpen saya benar-benar tidak ada yang nongol di majalah yang saya kirimi. Sedih sekali. Tapi pada bulan April 2003, saya sama sekali tidak menduga. Cerpen yang saya kirimkan ke sebuah penerbit di Yogyakarta dimuat dalam sebuah antologi sastra pesantren. Alhamdulillah, saya tidak henti-hentinya bertahmid, bersyukur atas terpilihnya cerpen saya dalam proyek penerbitan buku sastra pesantren yang digagas penerbit tersebut untuk memunculkan karya-karya dari pesantren.

Akhirnya saya kembali bersemangat untuk menulis lagi dan lagi. Dengan modal niat dan semangat untuk mengembangkan kreatifitas dan aktivitas tulis menulis khususnya di kalangan santri dan dunia pesantren. Insya Allah…

***

Sumenep, 09 Februari 2009

*) Syukran buat Ust. Khalili yang telah memberikan kami “Diary Santri KISS”, yang menjadi wadah kreatifitas kami. Buat teman-teman di FLP PPMU, terus menulis ya!

0 komentar:

Posting Komentar