Dia adalah adik kelasku. Kami ditakdirkan hidup bersama di bawah satu atap di sebuah pesantren di desa kecil Jambu, Kabupaten Sumenep. Selama tiga tahun kami bersahabat. Selama tiga tahun itu pulalah kami saling berbagi, bertukar pengalaman bahkan saling berdiskusi karena kebetulan kami mempunyai hobi yang sama; membaca karya-karya sastra. Kalau dia menyukai puisi saya lebih menyukai karya fiksi baik cerpen ataupun novel. Saat saya belajar menulis, dialah orang pertama yang membaca dan mengkritisi cerpen saya. Kurang ini, kurang itu, ending-nya kurang seru dan lain sebagainya.
Yang saya kagumi dari dia adalah sifat sabar dan kegigihannya dalam menghadapi cobaan hidup yang penuh dengan kegetiran ini. Baginya hidup ini adalah perjuangan, jadi harus ditaklukkan. Dia pernah bilang bahwa pantang baginya untuk menyerah terhadap keadaan. Semangatnya untuk menuntut ilmu sangat besar sehingga ia berani “minggat” dari rumahnya yang terletak di seberang lautan.
Dia anak pulau. Rumahnya terletak di sebuah desa bernama Sepanjang di Kepulauan Sapeken, salah satu pulau di Kabupaten Sumenep. Untuk sampai di
Karena alasan ekonomi, orang tuanya pernah tidak menyetujui rencananya untuk menuntut ilmu di “negeri seberang”. Karena dia mempunyai dua orang adik yang juga membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit di kampung. Namun niat dan tekadnya sudah bulat. Tak seorang pun yang bisa menghalangi langkahnya, bahkan orang tuanya sekalipun.
Berbekal semangat ia mengucapkan basmalah dan dengan berat hati meninggalkan kampung halamannya. Disaksikan wajah sedih orang tua dan adik-adiknya. Padahal ia tidak tahu harus kemana setelah sampai di
Sesampainya di pesantren tempat kami belajar ia menemui Bapak Kiyai, pengasuh pesantren. Kepada beliau dia utarakan niat dan kedatangannya ke pesantren. Semula dia ragu dengan apa yang dia sampaikan kepada orang nomor satu di pesantren itu. Karena dia datang sendirian tanpa seorang pun yang mengantarnya dari rumah. Sementara santri yang lain hampir semua diantar oleh wali mereka masing-masing saat hendak masuk pesantren. Dia hanya “sebatang kara” dan tidak mempunyai bekal apa-apa untuk hidup selama di pesantren. Jangankan untuk biaya SPP yang tentu jumlahnya tidak sedikit. Untuk biaya hidup selama di rantau saja ia tidak tahu harus dapat dari mana. Tapi sekali lagi ia yakin Allah Maha Pemurah dan Maha Kaya.
Keraguannya terjawab. Bapak Kiyai, pimpinan pesantren menawarkannya untuk menjadi abdi dhalem dengan membantu-bantu pekerjaan Kiyai seperti menyapu di sekitar rumah Kiyai, mencuci mobil dan sebagainya. Dan dia berhak belajar layaknya santri pada umumnya. Bebas SPP dan bebas biaya makan. Semuanya gratis asal dia benar-benar dengan ikhlas mengabdi kepada Kiyai.
Dan selama tiga tahun ia menjalani rutinitas sebagai santri yang nyambi sebagai abdi dhalem Kiyai. Dengan penuh sabar dan tawakal ia menjalani rutinitas yang tidak semua santri sanggup menjalaninya itu. Meski kadang ada rasa "malu" karena ia beda dengan santri yang lain. Pagi-pagi setelah shubuh dan pengajian kitab ia sudah memulai aktifitasnya sebagai abdi dhalem. Menyapu halaman rumah Kiyai, mencuci mobil dan lain sebagainya. Padahal teman-temannya bisa dengan bebas melakukan apa saja di pagi hari. Olah raga dan semacamnya sebelum mereka masuk sekolah.
Aku pernah berpikir. Bagaimana seandainya itu terjadi padaku? Sanggupkah aku menjalani rutinitas seperti itu? Ah, yang jelas aku tidak memiliki sifat-sifat istimewa seperti sifat yang dimiliki olehnya.
Waktu pun bergulir seperti roda yang menggelinding. Tanpa terasa kami pun lulus dari pesantren. Aku lulus tahun 2002, sementara dia satu tahun setelahku. Dan atas izin Allah juga lah kami sama-sama dipercaya Bapak Kiyai untuk menjadi salah satu tenaga pengajar dan pendidik di pesantren. Kami berdua diberi tugas untuk membina dan mengawasi kegiatan-kegiatan santri di pesantren. Aku sangat bersyukur karena kembali hidup seatap bersama salah satu makhluk Allah yang begitu banyak menularkan inspirasi dan semangat dalam setiap episode kehidupanku itu.
Selama dua puluh empat jam kami bersama guru-guru pesantren yang lain saling bahu membahu mengawasi dan mengayomi santri. Dari pukul tiga dini hari kami sudah ikut mengawasi mereka untuk mengawali rutinitas di pesantren. Sebuah rutinitas yang sangat menyenangkan meski kadang-kadang juga “menjemukan” ketika kami harus menangani santri dengan karakternya yang bermacam-macam.
Saat itulah kesabaran kami sebagai pendidik diuji. Sejauh mana kesabaran yang kami miliki untuk mendidik para santri dengan karakter yang bermacam-macam itu. Dan kami akhirnya sadar bahwa menjadi seorang pendidik itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seorang pendidik harus selalu telaten dan sabar dalam mendidik santri-santrinya. Seperti Bapak Kiyai yang bertahun-tahun mendidik kami sampai akhirnya kami lulus dari pesantren.
MENDADAK SUFI
Suatu ketika, kira-kira tiga tahun setelah kami mengabdi di pesantren, kulihat ada perubahan yang terjadi pada diri temanku. Bila kuperhatikan dia mulai menarik diri dari pergaulan. Dia tiba-tiba tidak suka lagi mengobrol. Begadang sampai tengah malam sambil berdiskusi kecil tentang banyak hal. Di antara kami tiba-tiba seperti ada jarak. Ia seolah-olah menjelma makhluk asing yang tidak kukenal.
Dia benar-benar berubah drastis. Tidak seperti biasanya, dia tiba-tiba sangat rajin bangun di sepertiga malam untuk shalat tahajud. Shalat dhuha, tilawah atau beri’tikaf semakin intens dilakoninya. Seolah-olah dia tidak lagi memikirkan masalah-masalah yang berbau dunia. Pikirannya ia fokuskan untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Sang pemilik jagad raya.
Sementara aku justru merasa kehilangan oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Sering aku terpekur dan hatiku bertanya-tanya. Apa yang terjadi sampai-sampai ia tidak mau lagi “berakrab-akrab ria” denganku? Apa ada yang salah denganku selama ini? Aku semakin merasa kehilangan karena persahabatan di antara kami tidak sehangat dulu lagi. Hubungan persahabatan di antara kami serasa hambar. Ia seperti patung salju yang membeku. Dingin.
Dan itu berlangsung selama kurang lebih enam bulan lamanya. Hingga pada suatu kesempatan aku memberanikan diri bertanya tentang kegundahan hatiku selama enam bulan itu. Karena jujur ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyelinap dalam hati ini. Siapa tahu aku mempunyai salah yang tidak aku sadari? Tidak ada salahnya
“
“Tidak ada, Kak. Aku hanya merasa selama ini telah menyia-nyiakan kesempatan untuk serius mengabdi kepada-Nya. Aku mulai sadar bahwa hidupku di dunia ini hanya sebentar. Itu saja. Tidak ada apa-apa, kok. Maafkan aku jika sikapku selama ini telah membuatmu gelisah….” Ia menjawab dengan suara datar. Untuk beberapa saat kami sama-sama terdiam. Hingga tanpa sengaja kulihat ada yang berubah pada wajahnya. Wajahnya tampak lebih bercahaya. Berseri-seri. Padahal aku yakin ia tidak memakai pemutih layaknya cowok-cowok metroseksual di iklan-iklan televisi itu. Dan yang membuatku lebih terhenyak saat kulihat ada yang membekas di dahi putihnya. Seperti bekas sujud. Apakah itu semua efek dari seringnya dia membasuh wajahnya dengan air wudhu dan intensitasnya bersujud kepada Sang Khalik? Subhanallah, hatiku bergumam. Secepat itukah perubahan itu terjadi?
UNTUK APA PESIMIS?
“Hidup ini hanya sebentar, Kak. Jadi buat apa pesimis menghadapi hidup. Bukankah materi yang kita miliki belum tentu menjamin kebahagiaan kita kelak? Alangkah kerdilnya kita jika mengukur kebahagiaan itu dengan banyaknya materi?”
Kalimat itu masih terus kuingat. Kata-kata yang lahir dari seorang pemuda berhati baja yang selalu optimis menghadapi hidup. Sementara aku? Aku selalu merasa bahwa hidup ini tidak pernah berpihak kepadaku. Aku pernah hampir terjerumus pada jurang keputusasaan di mana aku pernah berada pada titik jenuh. Untung ada dia yang selalu mengingatkanku, yang selalu memberikanku dorongan untuk tetap tegar menghadapi hidup. Padahal bukan aku tidak berusaha. Sudah kucoba untuk tegar sepertinya. Merenda hidup dengan senantiasa optimis menghadapi setiap dinamika hidup yang terjadi. Yang kadang nyaris meruntuhkan iman di dada ini. Aku juga selalu berusaha berdoa agar selalu diberikan kemudahan oleh-Nya.
Suatu malam sekitar pukul satu dini hari ada sebuah SMS masuk ke inbox-ku. Bukan dari siapa-siapa. SMS itu dikirim oleh “Sang Sufi”, pemuda berhati baja itu.
“OPTIMIS: Selalu yakin ada peluang setiap ada kesulitan. PESIMIS: Selalu yakin ada kesulitan tiap ada peluang.”
Hatiku kembali bergetar membaca SMS dari temanku itu
Ya, Allah, terima kasih karena Engkau telah memberikanku seorang sahabat yang selalu mengingatkanku saat aku lalai untuk menjalankan perintah-Mu. Menjadikannya bagian dari hidupku sehingga ia berhasil menyelamatkanku dari labirin keputusasaan yang menjelma di setiap episode hidupku. Subhanallah wal hamdulillah wala Ilaaha illallahu Allahu Akbar!
***
*) Untuk seorang sahabat yang t’lah membuat hidupku lebih hidup; doaku '
0 komentar:
Posting Komentar