Saya mengenal Helvy Tiana Rosa (HTR) hanya lewat karya-karyanya terutama cerpen yang pernah bertaburan di majalah remaja Islami Annida. Cerpen pertama beliau yang pernah saya baca adalah Selamanya Cinta (SC) dan Dara Hitam (DH). Dua cerpen yang menurut saya beda dengan cerpen-cerpen pada umumnya. Untuk cerpen SC saya mengacungkan empat jempol saya saking bagusnya.
Tema yang diangkat dalam cerpen tersebut sebenarnya sudah umum tapi tetap membuat saya terenyuh dan meneteskan air mata setelah membacanya. SC mengangkat tema tentang cinta dan kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Sebuah cerpen yang telah mengaduk-aduk emosi saya karena saya pernah “menyepelekan” kasih sayang orang tua, terutama ibu. Padahal jelas bahwa ibu adalah orang yang sangat berjasa dalam kehidupan kita. Seorang ibu adalah pejuang bagi lahirnya “seonggok jiwa” yang akan menghuni hiruk pikuknya dunia.
Membaca cerpen SC saya jadi teringat sebuah hadist yang berbunyi: “Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan murka Allah terletak pada murka orang tua.” Hadist ini dengan sangat tegas memperingatkan kita agar jangan pernah berbuat durhaka kepada orang tua, lebih-lebih pada seorang ibu yang sejak kecil telah menyayangi dan mengasuh kita. Allah dalam al-Qur’an pun melarang kita untuk mengucapkan kata “uh, ah,” dan sejenisnya kepada kedua orang tua. Firman Allah: “Dan janganlah kamu berkata “uh” kepada kedua orang tua….”.
Sementara cerpen DH mengangkat kisah tentang konflik yang terjadi antara suku Madura-Dayak di Sampit beberapa tahun silam. Dengan sangat apik Helvy menceritakan konflik yang banyak memakan korban jiwa tersebut. Tidak hanya harta, konflik antar etnis Madura dan Dayak itu telah membuat ratusan bahkan ribuan anak kehilangan orang tua.
Saya mengakui cerpen-cerpen yang lahir dari tangan Helvy bukan hanya sekadar cerita yang hanya berfungsi sebagai “penghibur” atau pengisi waktu kosong saja. Lebih dari itu, karya beliau sanggup membuat kita merenung setelah selesai membacanya. Karena Helvy menulis berdasarkan pengalaman pribadi dan riset yang kuat. Seperti cerpen Catatan Pita Hitam yang beliau tulis setelah pecahnya tragedi tewasnya beberapa mahasiswa disaat “berjuang” untuk melengserkan presiden Soeharto yang selama dua puluh dua tahun berkuasa (1998).
Membaca Catatan Pita Hitam kita akan ikut merasakan bagaimana perjuangan para mahasiswa untuk menegakkan kebenaran di tanah air tercinta ini.
Cerpen-cerpen lainnya yang ditulis Helvy yang menurut penulis sangat bagus adalah cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumcer Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP). Cerpen-cerpen dalam KMGP rata-rata adalah bertema sosial dan perjuangan (epik). Tentang cerpen dalam KMGP saya punya “kenangan” tersendiri yang berkaitan dengan cerpen berjudul Diary Adelia di Salsabila. Sebuah cerpen yang mengangkat tentang kisah kehidupan di pesantren.
Suatu hari saya iseng menghidupkan televisi. Kalau tidak salah chanel-nya adalah RCTI. Waktu itu tanggal 1 Muharram (sekitar tahun 2002).
Saya semakin yakin bahwa karya Helvy tidak hanya diakui oleh kalangan penulis dan kritikus sastra. Tapi produser film pun “melirik” karya beliau yang memang apik tenan itu untuk diangkat ke layar kaca.
INGIN JADI PENULIS SEPERTI HELVY
Semenjak masuk pesantren saya pernah ingin jadi penulis. Hobi membaca majalah Annida yang waktu itu dipimpin HTR telah mendorong saya untuk juga berkarya seperti penulis-penulis yang kerap memejeng karyanya di majalah Annida. Saya pun belajar menulis sambil sesekali mencari informasi tentang organisasi FLP yang konon dikenal sebagai pabriknya para penulis.
Berdasarkan informasi saya akhirnya bisa bergabung dengan FLP semenjak tahun 2003. Meskipun hanya mendaftar lewat jarak jauh karena di
Walhasil, usaha saya pun menghasilkan buah. Mungkin ini adalah buah dari kesabaaran dan semangat saya selama ini dalam menulis. Pada awal tahun 2003 pesantren tempat saya tinggal mendapat sebuah penawaran penerbit di Yogya untuk bergabung dalam rencana penerbitan kumcer bertema pesantren. Saya pun mengirimkan beberapa cerpen saya dan subhanallah, cerpen saya masuk dalam Antologi Sastra Pesantren Kopiah dan Kun Fayakuun (GitaNagari, 2003). Saya sangat bersyukur dan semangat untuk kembali menulis pun menggebu-gebu. Saya kembali menulis dan mengirimkan tulisan ke beberapa media. Dan tak dinyana-nyana tulisan saya bermunculan di media. Baik fiksi maupun non fiksi. Seperti Radar Madura (Jawa Pos grup), Permata, Annida, Saksi dan Majalah Sastra Pesantren Fadilah.
Saya jadi teringat dengan pepatah Arab yang berbunyi: “Sabar itu ibarat obat yang sangat pahit ketika dirasa. Tetapi efeknya akan lebih manis dari madu.” Pepatah ini kembali menyemangati saya untuk tetap bersabar dalam segala aktifitas. Lebih-lebih dalam menulis yang memang membutuhkan kerja keras. Tidak ada penulis yang instan. Yang dalam sekejap bisa menulis karya dengan baik. Semua butuh proses.
“KMGP” UNTUK SKRIPSI
Sekitar pertengahan 2007 seorang teman yang kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
“Jadi kamu minta saya buat judul?” Tanya saya waktu itu pura-pura tidak tahu maksud kedatangannya.
“Ya, begitulah….”
Saya hanya tersenyum. Meskipun tidak kuliah di jurusan sastra, saya punya koleksi buku sastra cukup banyak. Dari teori menulis, novel atau antologi cerpen. Saya akhirnya menawarkan sebuah judul berdasarkan kumcer KMGP karya HTR.
“Gimana kalo judulnya ‘Nilai-Nilai Relegius dalam Kumpulan Cerpen Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa’?”
“Kamu punya bukunya?” Tanya teman saya.
“Ya, iyalah. Ngapain juga nawarin judul kalo nggak ada bukunya.”
Akhirnya teman saya setuju dan pulang dengan hati senang karena besoknya dia akan mengajukan judul skripsi itu kepada dosen pembimbing. Saya ikut senang karena ikut membantu teman ketika dalam kebingungan. Saya hanya berharap dan berdoa teman saya bisa dengan mudah dan lancar menggarap skripsinya.
Ini adalah pengalaman kedua saya merekomendasikan buku koleksi saya untuk tugas akhir kuliah seorang teman. Sebelum KMGP saya pernah merekomendasikan novel Derai Sunyi karya Asma Nadia sebagai tugas akhir. Saya hanya berharap karya-karya seperti HTR, Asma Nadia dan yang lainnya bisa bermanfaat bagi para pembacanya.
Dan akhir bulan ini (Maret 2008), insya Allah teman saya yang mengangkat KMGP sebagai skripsi akan wisuda. Dia akan menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) yang telah dia idam-idamkan selama kurang lebih
***
0 komentar:
Posting Komentar