Tahun 1995 aku lulus Madrasah Ibtidaiyah (MI). Aku bahagia karena sudah menyelesaikan pendidikan dasarku itu. Namun, aku sempat didera kebingungan menjelang pelulusan. Aku tidak tahu harus melanjutkan kemana setelah aku lulus. Sementara sebagian besar temanku ada yang berencana melanjutkan ke SMP, MTs, bahkan ada yang mau masuk pesantren. Aku juga ingin seperti mereka. Menikmati bangku sekolah lanjutan pertama. Tapi keinginan itu surut seketika setelah melihat kondisi ekonomi orangtua. Keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan membuat aku harus berpikir ribuan kali untuk melanjutkan sekolah. Tapi kalau aku tidak melanjutkan sekolah, mau jadi apa nanti kalau ijazah SMP saja tidak punya?
Aku sempat menyampaikan kegundahan hatiku kepada ayah-ibu, juga saudara-saudaraku yang sudah berkeluarga. Mereka memberiku semangat dan terus mendorongku untuk tetap melanjutkan sekolah minimal sampai SLTP. Mereka tidak mau aku seperti mereka yang SD saja tidak lulus. Karena saat kakak-kakakku seusiaku dulu keadaan ekonomi keluarga jauh lebih menyedihkan daripada keadaan sekarang. Jangankan memikirkan biaya sekolah yang bagi ukuran kantong orang tuaku sangat besar itu, untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja mereka harus pontang-panting mencari pinjaman. Jadi kuli dan buruh serabutan adalah pilihan mereka untuk mengurangi beban utang.
Aku semakin pusing dan bingung. Rasa kasihan melihat kemelaratan orang tua yang sudah semakin renta dikikis usia semakin menambah runcing keinginan dan semangatku untuk melanjutkan sekolah.
Akhirnya aku putuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Keputusan itu aku ambil karena aku sudah tidak punya pilihan lain. Sedih memang. Karena setiap kali aku melihat teman-temanku bersepeda lewat samping rumahku untuk ke sekolah, hatiku seolah-olah tertohok benda tajam nan berkarat. Sakit! Perih! Siapa yang tidak ingin melanjutkan sekolah? Semua orang pasti mengimpikannya!
Jadilah aku waktu itu pengangguran. Setiap hari aktivitasku hanya membantu pekerjaan orang tua. Menimba dan mengangkut air dari sumur yang tidak begitu jauh dari rumah. Saat musim tembakau tiba, aku ikut membantu mereka menyiram tembakau di ladang. Sebuah pekerjaan yang masih belum saatnya aku kerjakan.
Setahun berlalu. Dan aku merasakan sebuah kebosanan yang sempat menyelinap dalam hati dan pikiranku. Aku bosan menganggur. Aku tidak punya kegiatan lain selain membantu pekerjaan orang tua. Ya, Allah… bukan hamba tidak mau membantu orang tua. Tapi….
Tahun pelajaran 1996 kakak sepupuku yang mengajar di sebuah pesantren yang tidak begitu jauh dari desaku datang ke rumah dan membujukku untuk masuk pesantren. Untuk melanjutkan sekolah di
Aku jadi serba salah. Merasa berdosa karena telah meragukan kekuasaan-Nya. Aku sering pesimis kalau orang tuaku tidak akan mampu membiayai pendidikanku. Padahal rejeki, maut dan takdir adalah rahasia-Nya. Allah akan membagikan rejeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya dari arah yang tidak disangka-sangka.
Akhirnya, pertengahan Juli 1996 aku berangkat ke pesantren. Di tempat itulah aku banyak berinteraksi dengan teman-teman yang mayoritas sama denganku. Mereka banyak yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Dengan senang hati aku mulai menjalani rutinitas belajarku di pesantren. Tak lupa setiap selesai shalat aku mendoakan orang tua supaya diberikan kesabaran serta kemudahan dalam mencari nafkah. Untuk membiayai pendidikanku di pesantren. Dan alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku. Ayah dan ibu bisa membiayai kehidupanku di pesantren. Uang SPP, uang makan dan biaya lainnya bisa terbayar walau dengan mencicil setiap bulan.
Dan rasa syukurku semakin bertambah saat Allah memberikan kemampuan yang cukup kepadaku dalam menghadapi pelajaran. Selama 3 tahun berturut-turut, aku berada di peringkat 3 besar di kelas. Alhamdulillah, maha besar Allah atas segala kuasa-Nya. Berkat prestasiku itulah aku mendapat beasiswa pendidikan. Orang tuaku senang mendengar aku mendapat keringanan dalam membayar SPP. Bahkan aku diajukan untuk mendapat beasiswa pendidikan sampai aku lulus Madrasah Aliyah (SMA). Subhanallah…. Tiba-tiba aku terhenyak dan ingat firman Allah dalam
Waktu pun berlalu. Perjuanganku di pesantren pun purna. Juni 2002 adalah puncak dari kebahagiaanku. Pada tahun 2002 itulah aku lulus dari pesantren. Bisa menyelesaikan pendidikan SMP-SMA di
***
Kamar Bujang PPMU, 21.04.2006/05.30
0 komentar:
Posting Komentar