Tak Seindah Asa

08.30 / Diposting oleh untung wahyudi /

02 April 2005

Namanya Zahra. Zahra Adzkiya. Nama yang indah. Sifatnya yang lemah lembut dan keibuan telah memikatku untuk memilikinya. Menjadikannya teman pendamping hidupku. Aku tidak pernah menduga kalau Mas Rozy akan mengenalkanku dengan gadis Madura yang cantik jelita itu. Gadis yang selama beberapa minggu ini mengganggu pikiranku. Mengganggu malam-malamku.

Dan yang membuatku tidak percaya, gadis itu langsung menerima tawaranku untuk ta'aruf, sebagaimana yang ditawarkan Mas Rozy padaku. Aku tidak mau menjalani hubungan ini dengan pacaran. Sudah bukan waktunya untuk "main-main" dengan urusan seperti ini. Aku hanya ingin satu; menyempurnakan separuh agamaku. Mengarungi kehidupan rumah tangga yang kata Mas Rozy penuh liku-liku, perjuangan dan pengorbanan. Dan satu lagi kata Mas Rozy, menikah bisa bikin kaya! Benarkah? Ah… aku juga tidak tahu. Yang jelas Mas Rozy lebih berpengalaman. Dia sekarang bahkan sudah dikaruniai dua orang mujahid yang tampan nan lucu. Ah, aku semakin iri dengan semua itu. Kapan aku bisa merealisasikan mimpi dan keinginanku?

Namun… kata-kata dokter Adi dua minggu yang lalu membuat semangatku tumbang. Hilang tak berbekas. Apa yang disampaikannya telah membuatku menjadi makhluk kerdil. Seonggok daging tak berharga, lebih-lebih di depan wanita.

"Hanya mukjizat Allah yang bisa mengubah semuanya, Mas Wahyu. Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha. Saya harap Anda bersabar…."

Kalimat terakhir dokter Adi membuatku terpaku. Aku hanya pasrah. Walau jauh di dasar hatiku masih meragukan keputusan dokter Adi. Keputusan yang membuat hancur semua impianku.

15 April 2005

Pukul delapan pagi. Suasana arus lalu lintas di kawasan Umbulharjo seperti biasa sudah semrawut dengan lalu lalang kendaraan. Bus, angkot dan puluhan becak yang masih setia menunggu para penumpang. Sementara angkot yang aku tumpangi terus melaju. Membelah arus lalu lintas di kawasan Umbulharjo. Tepat di jalan Golo aku turun. Lima menit jalan kaki aku sudah sampai di tempat kerjaku. Penerbit ARJUNA, salah satu penerbit buku-buku sastra di kota gudeg ini.

Kulihat suasana kantor tempat kerjaku mulai ramai oleh beberapa karyawan yang sudah berdatangan.

"Pagi, Yu. Gimana nih proses ta'arufnya?" sebuah suara menghentikan langkahku ketika langkahku hendak ke ruang kerja. Dari suaranya aku kenal. Dia Pak Sholeh, direktur penerbit ARJUNA. Seperti biasa ia datang lebih pagi dari para karyawan. Mungkin untuk memberi contoh kalau kita harus benar-benar menghargai waktu.

"Insya Allah, masih dalam proses, Pak." Jawabku sembari tersenyum.

"Menurutmu dia cocok?" Tanya Pak Sholeh lagi. Aku hanya mendesah dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Sholeh dengan tenang. Karena Zahra bagiku adalah gadis yang ideal. Dia adalah gadis yang selama ini aku impi-impikan.

Pak Sholeh hanya tersenyum mendengar jawabanku.

"Saya doakan, Yu. Semoga kalian berdua bahagia dan cocok." Ucap Pak Sholeh seraya melangkah ke meja kerjanya. Beberapa meter dari meja kerjaku.

Aku juga duduk di kursi belakang mejaku. Di depanku sudah ada tumpukan naskah yang baru masuk. Kuhidupkan komputer dan mulai membuka naskah-naskah dalam amplop itu.

Ada dua naskah novel dari dua orang penulis pendatang baru. Setahuku, baru kali penulis itu mengirimkan ke ARJUNA. Entah di tempat lain. Mungkin saja dia sudah pernah menerbitkan karya-karyanya di penerbit lain. Karena di kota ini tidak susah mencari penerbit khususnya untuk karya-karya fiksi. Yogyakarta dikenal dengan markasnya penerbit buku. Dari yang sudah sepuh sampai yang baru lahir ada. Hanya saja penerbit-penerbit baru harus bisa bersaing dengan penerbit lain yang sudah lebih dulu dikenal publik. Baik dari kualitas karya apalagi dari kemasan buku yang diterbitkan. Karena penampilan sebuah buku juga mempengaruhi minat pembaca. Biarpun karyanya bagus kalau sampul bukunya kurang "nyeni" bisa saja buku itu ditinggalkan pembeli.

Sekilas kubaca biodata singkat penulis novel itu. Zahra Alexandria. Masih cukup muda. Usianya baru dua tiga. Tiga tahun lebih muda dariku. Baru sarjana S1 di Fakultas Adab UIN Yogyakarta. Pantas saja dia bisa menulis novel. Wong dia mahasiswa sastra Arab! Pikirku.

Kembali aku tenggelam dalam pekerjaanku bersama suara merdu grup Nasyid Raihan yang mengalun indah dari winamp komputer di sampingku.

Awal Juni 2005

Sudah dua bulan masa ta'aruf aku jalani. Mas Rozy semakin menyemangatiku untuk tetap berpegang teguh pada prinsipku.

"Aku harap kau lebih bisa meyakinkan hati kamu, Yu. Aku yakin istikharah kamu nggak bakal sia-sia. Aku juga doakan semoga hatimu dan juga hati Zahra semakin mantap." Mas Rozy terlihat antusias. Mendorongku penuh semangat. Andai saja dia tahu apa yang sedang bergejolak dalam hatiku… Ah, aku harus menyimpannya. Aku tidak mau Mas Rozy kecewa. Mas Rozy sudah mati-matian mengusahakanku untuk mengenal Zahra. Tapi bagaimana kalau Zahra tidak bahagia? Kalau aku tidak bisa mempersembahkan sesuatu yang akan membahagiakan hatinya?

"Tapi, Mas…" suaraku tercekat. Embus angin dari jendela rumah Mas Rozy seolah-olah mengisyaratkanku untuk tidak bicara. Untuk tidak menyampaikan masalah ini sekarang. Mungkin angin juga tahu kalau aku masih belum siap bercerita. Lama aku terdiam. Pandanganku hanya terpaku pada lukisan kaligrafi yang menghiasi dinding ruang tamu Mas Rozy.

"Tapi kenapa, Yu…?" aku tersentak. Suara itu bukan suara Mas Rozy. Tapi suara Mbak Diah, istrinya.

"Mm…" aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku.

"Kau masih ragu dengan masa depanmu? Kau takut tidak bisa memberinya makan, begitu?" suara Mbak Diah membuatku semakin tersudut. Bukan, bukan itu! Jawabku dalam hati.

"Terus kenapa masih ada tapi…?" Mas Rozy kembali nimbrung sembari membelai hangat rambut anaknya yang menggelayut manja di depannya.

"Jangan pernah ragukan rejeki-Nya, Yu. Allah Mahaluas Rejeki-Nya. Dulu, sebelum menikah aku sama sekali tidak punya pekerjaan tetap. Tapi kami masih bisa makan. Bahkan juga bisa punya anak. Iya, kan Bu…?" kata Mas Rozy berpromosi sembari melirik istrinya yang manis. Ah, biarlah semua ini menjadi rahasia pribadiku. Aku tidak mau menyusahkan Mas Rozy dan istrinya. Karena aku yakin mereka akan bersedih kalau tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Apa yang sedang bergejolak hebat dalam batinku.

"Apalagi Zahra orangnya kreatif. Tanpa kamu tahu ternyata dia seorang penulis. Penulis novel lagi. Sudah dua novelnya yang terbit."

Saat ini asli aku semakin tidak percaya mendengar kalimat terakhir Mas Rozy. Ternyata Zahra adalah gadis yang memiliki segalanya. Tidak saja wajahnya yang cantik dan manis. Dia juga cerdas dan kreatif. Tapi kenapa aku tidak pernah membaca karya-karyanya? Padahal aku termasuk penikmat buku-buku sastra. Itu aku lakukan untuk bisa membandingkan mana naskah yang baik atau sebaliknya. Khususnya penulis-penulis dalam negeri. Bahkan aku lebih suka membaca karya para penulis baru yang saat ini cukup menjamur. Banyak penulis dan novelis baru bermunculan. Dan aku tidak pernah melihat nama Zahra Adzkiya di sampul-sampul buku yang pernah saya lihat di rak-rak toko buku. Apa dia pake nama pena? Nama samaran?

"Dia pake nama pena, ya, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nah, kan kamu penasaran juga. Kamu benar. Dan mungkin kamu pernah melihat namanya di sampul-sampul buku novel. Katanya sih novel keduanya diterbitkan di penerbit ARJUNA."

Aku semakin tidak percaya. Di ARJUNA? Berarti aku sudah pernah membaca naskahnya? Tapi siapa, ya?

"Nama penanya Zahra Alexandria." Mendengar nama itu disebut aku semakin terkejut. Berarti nama itu? Novel yang bagus itu punya Zahra? Zahra Adzkiya yang selama ini aku kenal?

"Kenapa, Yu? Kok kayaknya kamu terkejut begitu. Emang kamu pernah membaca karyanya?"

"Justru sebelum naskahnya menjelma kongkrit menjadi sebuah buku, aku sudah membacanya." Kini giliran Mas Rozy yang terkejut.

"Jadi posisi kamu di ARJUNA sebagai tim penyeleksi naskah? Editor? Wah, kirain hanya karyawan biasa. Kalau begitu klop lah. Nanti istri kamu yang ngarang dan kamu sebagai editornya. Nepo dikit nggak apa-apa, kan? He… he…" Mas Rozy terkekeh. Mbak Diah juga. Aku ikut-ikutan tersenyum.

15 Juni 2005

Allah… haruskah aku lanjutkan masa ta'aruf ini? Apa aku harus mengkhitbah Zahra? Padahal aku sendiri tidak yakin bisa membahagiakannya. Hanya kepada-Mu aku serahkah masalah ini. Sungguh, aku tidak mau mengecewakan gadis itu. Orang tuanya di Madura sudah setuju dan mau menerimaku apa adanya. Begitu juga Zahra. Dia tidak melihatku dari segi materi. Dia tidak peduli aku punya pekerjaan mapan apa tidak. Menurutnya materi bisa dicari. Dan dia yakin kalau menikah itu akan mendatangkan banyak berkah. Dia tidak pernah ragu dengan nikmat-Mu ya, Allah. Tapi….

25 Juni 2005

"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, Mas. Aku tidak bisa mengkhitbah dia…" suaraku tercekat. Aku tidak mampu menatap wajah Mas Rozy di depanku.

"Kamu serius, Yu? Kamu kenapa? Sejak kapan kamu jadi pengecut begini? Apa lagi yang kamu tunggu? Kau masih normal kan? Kau tidak punya kelainan seksual kan?"

Pertanyaan-pertanyaan Mas Rozy semakin deras menyerangku. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah pernah singgah dalam pikiranku. Pasti Mas Rozy curiga macam-macam setelah mendengar keputusanku. Dia pasti mencurigaiku tidak normal!

"Insya Allah aku masih normal, Mas. Aku sama sekali bukan golongan yang dilaknat Allah dalam al-Qur'an itu. Tapi aku…." Kelopak mataku memanas.

"Tapi kenapa…? Karena kamu belum siap? Karena kamu ragu dengan rejeki-Nya?"

"Bukan, Mas. Bukan itu. Hanya saja aku…"

Aku kembali terdiam. Rasanya kekuatan yang selama ini aku kumpulkan untuk menceritakan hal yang sebenarnya hilang.

"Aku akan cerita. Tapi tidak sekarang. Aku ingin menyampaikan langsung hal ini di depan Zahra. Dan aku harap Mas Rozy mau menemaniku nanti."

Mas Rozy masih termangu. Aku yakin dia sangat shok mendengar keputusanku. Keputusan yang aku yakin juga akan membuat hati Zahra berkeping-keping.

"Maafkan aku, Mas…" desahku perlahan seraya pamitan.

26 Juni 2005

Ya, Allah. Beri hamba kekuatan. Hamba harus berterus terang dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hamba tidak mau Zahra kecewa di kemudian hari. Biarlah hamba ikhlaskan. Mungkin hamba memang tidak pantas untuk mendampinginya. Menemani hari-harinya kelak yang penuh kebahagiaan.

Hamba hanya pasrah dan yakin semua ini adalah takdir-Mu. Hamba tidak akan pernah menggugat-Mu. Karena di balik setiap musibah ada hikmah di dalamnya.

01 Juli 2005

Jam dinding di ruang tamu Mas Rozy berdentang delapan kali. Sudah pukul delapan. Aku duduk berjajar dengan Mas Rozy sementara Zahra di dekat Mbak Diah. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan sejak tadi. Karena aku sendiri sibuk dengan kecamuk pikiranku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Zahra nanti. Aku tidak bisa menduga seperti apa kekecewaan Zahra saat mendengar keputusanku. Allah, beri hamba kekuatan…. Aku mendesah beberapa kali. Bismillah….

"Sebelumnya aku minta maaf. Dan aku ucapkan ribuan rasa terima kasih kepada Mas Rozy dan juga Mbak Diah atas bantuannya selama ini. Aku menghargai usaha Mas Rozy yang sudah mengenalkanku dengan Zahra.

Bagiku pernikahan adalah masa di mana kita akan melabuhkan segenap rasa cinta dalam jiwa. Dan tentu kebahagiaanlah yang diharapkan oleh semua pasangan cinta. Dan saat kebahagiaan yang diharapkan itu hilang hancurlah biduk kehidupan rumah tangga mereka. Dan tugas semua lelaki lah untuk bisa membahagiakan bidadari dalam rumah istananya." Aku berhenti sejenak. Mencoba menenangkan hati dan pikiranku sebelum melanjutkan kalimat selanjutnya. Baris-baris kalimat yang selama seminggu ini aku baca untuk lebih memantapkan keputusanku.

"Dan aku, mungkin adalah salah satu di antara lelaki yang tidak akan bisa membahagiakan pasanganku kelak…." Kalimatku tunai. Aku rasa mereka sudah bisa menebak arah pembicaraanku. Lebih-lebih Mas Rozy yang sudah sedikit tahu kalau keputusanku bukan karena masalah materi.

"Maksud sampeyan bagaimana, Mas Wahyu? Aku sama sekali tidak mengerti." Zahra akhirnya angkat bicara. Dan aku sudah menduga kalau gadis berjilbab putih di depanku itu tidak akan mengerti sebelum aku menjelaskan masalah yang sebenarnya.

"Benar, Yu. Mbak Diah juga nggak ngerti. Apa alasan kamu sehingga kamu memvonis diri kamu sendiri tidak bisa membahagiakan pasangan kamu kelak?" Mbak Diah juga buka mulut. Semua pandangan mata tertuju kepadaku. Aku semakin bingung. Detak jentangku semakin tidak beraturan.

"Beberapa bulan yang lalu aku memeriksakan diri ke dokter Adi. Dan menurut hasil pemeriksaan aku sulit untuk bisa memberikan keturunan. Aku…."

Kalimat terakhirku tak ubahnya bom yang pernah meledak di pulau Dewata Bali beberapa tahun lalu. Semua tersentak. Mas Rozy kian shok. Zahra kulihat hanya tertunduk. Aku tidak tahu bagaimana cuaca hatinya saat ini. Dari sudut matanya kulihat ada titik-titik bening menggelinding, jatuh membasahi pipinya yang bersih.

Suasana semakin sepi. Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang terdengar di ruang tamu. Mungkin mereka masih tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

***

PPMU Jambu, 11.15 / 02.04.06

*) Untuk seorang "sahabat" yang "hilang"; di setiap musibah pasti ada hikmah.

0 komentar:

Posting Komentar