Bidadari untuk Fadli

08.27 / Diposting oleh untung wahyudi /

"Proses dalam memilih jodoh itu ada tiga. Pertama adalah Khiyarah. Artinya kita harus berusaha untuk mendapatkan calon pendamping hidup yang sesuai dengan kriteria kita. Setelah itu baru kita Istisyarah. Konsultasi dan memusyawarahkan rencana kita. Dengan orang tua, kerabat, dan kalau perlu dengan teman dekat. Dan yang terakhir adalah Istikharah. Dalam hal ini kita komunikasikan hajat kita dengan Allah. Memohon agar hati kita dimantapkan dalam urusan ini."

Tausiyah Ustadz Mursalin pada acara pengajian mingguan di masjid At-Takwa kemarin kembali terngiang-ngiang di benak Fadli. Ia tiba-tiba ingat umurnya yang sudah lebih dari cukup untuk mengakhiri masa lajang itu. Kalau mau mengikuti sunah Rasul, berarti ia sudah terlambat dua tahun. Karena konon Rasulullah menikah dengan Siti Khadijah saat usia beliau dua puluh lima. Berarti aku?

Fadli termenung. Di atas sajadah biru ia terpaku. Sepasang matanya lekat memandangi pilar-pilar masjid yang menghiasi permukaan sajadah.

Ia tahu kalau menikah adalah hal yang disunnahkan dan sangat dianjurkan dalam agamanya. Bahkan seperti dalam hadist yang pernah dibacanya Rasulullah melarang keras umatnya untuk lama-lama membujang. Beliau menghimbau umat manusia yang sudah mampu menikah untuk segera menikah. Karena dengan menikah manusia lebih bisa menjaga pandangan dan memelihara kemaluan.

Tapi sungguh bukan ia tidak mau melaksanakannya. Ia bukan tidak mengindahkan perintah agamanya. Yang ada dalam hatinya hanya satu; BELUM SIAP! Ya, ia masih belum siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang menurutnya sangat berat itu. Ia tidak mau nanti mengecewakan istrinya karena ia masih belum punya pekerjaan tetap. Ia masih belum bisa memenuhi segala tetek-bengek yang berkaitan dengan pernikahan. Mahar, biaya walimahan dan semuanya. Karena ia sadar kalau di tempat ini ia hanya hidup sebatangkara. Ia tidak punya keluarga yang bisa membantu kebutuhan hidupnya di kota pahlawan ini.

Tanpa sadar ia kembali terseret pada peristiwa lima tahun silam yang telah membuatnya terdampar di kota ini. Saat rumah gedek milik keluarganya dilalap si jago merah dan menewaskan kedua orang tua dan adik semata wayangnya.

Mata Fadli membasah. Bulir-bulir bening itu tiba-tiba mengalir membasahi pipinya yang bersih.

Ya, Allah. Maafkan hamba. Bukan hamba acuh terhadap perintah-Mu. Sama sekali bukan. Hamba tidak akan pernah mengubah kodrat hamba sebagai laki-laki. Hamba akan segera menikah demi berlangsungnya jihad di muka bumi-Mu ini. Pemuda itu tengadah. Menangkupkan kedua tangannya tepat di depan wajahnya. Bait-bait doa semakin deras mengalir mengarungi malam yang kian sunyi.

***

Bisa menghirup aroma kehidupan yang penuh dengan berjuta nikmat seperti sekarang, itu sudah cukup bagi Fadli. Ia tidak pernah mengkhayal untuk menjadi seorang pejabat kaya raya yang bisa membeli apa saja dengan uang. Karena ia sadar mengkhayalkannya hanya buang-buang waktu dan kesempatan. Toh Tuhan di dunia ini tidak membagi-bagikan pekerjaan melainkan rejeki kepada hamba-hamba-Nya.

Menjadi marbut masjid seperti saat ini ia sudah bersyukur. Betapa besar nikmat Allah. Dan ia yakin apa yang dimilikinya saat ini merupakan jatah dari Allah untuk dirinya. Karena Allah tidak akan pilah-pilih dan tidak akan keliru membagi-bagikan nikmat kepada hamba-Nya.

Tapi akhir-akhir ini ketenangan hatinya kembali terusik. Saat beberapa rekannya di Remas dan Takmir masjid dengan sumringah dan penuh bahagia membagi-bagikan undangan walimahan saat itu pula hatinya merasa tertohok. Seolah-olah ada benda tajam yang merejam-rejam bongkah hatinya. Sakit! Perih!

Tapi ia tidak pernah menyalahkan takdir dan keadaan yang selama ini mengungkung kehidupannya. Ia hanya pasrah dan mampu menjawab "masih belum saatnya" ketika beberapa rekannya menanyakan perihal rencana pernikahannya.

Dan malam ini ia kembali gelisah. Hatinya gundah. Ustadz Mursalin tadi siang kembali menyinggung masalah pernikahan. Dan ia yakin semua itu beliau tujukan untuknya yang masih belum menemukan calon pendamping hidup yang kelak akan menenteramkan hatinya.

Padahal bukan ia tidak mau menikah. Hanya saja siapa yang mau menerima lamarannya? Masih adakah seorang perempuan yang sudi melihatnya, yang hanya hidup sebatangkara dan tidak berpunya? Masih adakah di jaman ini perempuan yang mau menerima seorang lelaki apa adanya tanpa melihat materi yang dimilikinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin sesak menjejali ruang pikirannya. Hatinya kalut. Kedua matanya mengabut.

***

Tanpa terasa air mata Fadli tumpah. Menyeruak bersama rasa haru yang memenuhi hati dan perasaannya. Inikah jawaban atas doa-doanya selama ini? Maha besar Allah yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.

Ia tak pernah menduga kalau akhirnya ada juga bidadari yang sudi menerima keadaannya. Seorang bidadari yang akan memberikannya seorang mujahid yang kelak akan menemaninya berjuang menegakkan agama Allah.

Fadli melirik perempuan berkerudung putih di sampingnya. Sarah! Ah, ia benar-benar tidak menduga kalau Ustadz Mursalin akan "menghadiahkan" putri semata wayangnya untuknya. Berkali-kali kalimat tahmid meluncur dari bibirnya. Apalagi saat Sarah, wanita yang mulai hari ini resmi menjadi pendamping hidupnya meraih tangannya dan menciumnya penuh takdzim.

Rasa haru dan bahagia kembali menyeruak memenuhi taman hatinya yang penuh bunga. Benar-benar di luar dugaan dan kesadarannya! Padahal ia tidak pernah bermimpi kalau Sarah lah yang akan menjadi mutiara hatinya.

Pemuda itu kembali menatap sepasang mata Sarah yang teduh. Mata yang menyiratkan kedamaian dalam hatinya. Mata bening yang ia yakin saat ini penuh dengan bunga-bunga cinta. Cinta yang lahir dari hati yang suci. Ketika dirasakannya seseorang menyentuh pundaknya.

"Fad, kamu dipanggil Ustadz Mursalin. Katanya ada hal penting yang akan beliau bicarakan." Fadli terlonjak. Kain pel yang sedari tadi dipegangnya hampir mengering. Ia baru sadar kalau pekerjaannya mengepel lantai masjid masih belum selesai. Ia buru-buru merapikan alat-alat pel di depannya dengan detak jantung yang tiba-tiba tak beraturan. Apa yang akan beliau bicarakan? Apa ia punya salah? Ia tidak bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang menguras pikirannya. Segera ia bangkit menuju kediaman Ustadz Mursalin yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari masjid.

Fadli terkejut begitu sampai di rumah Ustadz Mursalin. Beliau sudah menunggunya bersama seorang gadis di sampingnya. Sarah. Putri semata wayangnya. Seorang gadis yang baru saja bertandang ke negeri khayalnya.

***

Sumenep, 17 Desember 2005/22.50

0 komentar:

Posting Komentar