Jangan Tinggalkan Dia!

08.25 / Diposting oleh untung wahyudi /

05 Ramadhan 1426

Jujur, aku tidak suka dengan cara orang tuaku yang masih memperlakukanku seperti anak kecil. Yang selalu “ikut campur” dalam setiap urusan “pribadi”-ku. Padahal aku sudah mahasiswa semester lima. Usiaku pun sudah menginjak dua puluh tiga. Kupikir sudah saatnya aku untuk mandiri, tanpa harus bergantung pada orang lain.

Bukan aku tidak butuh perhatian mereka. Sama sekali bukan! Aku hanya tidak suka cara orang tuaku yang menurutku terlalu “over protektif” itu.

Oke! Itu bisa aku maklumi. Karena sebagai orang tua, mereka memang bertanggung jawab atas anak-anaknya. Bagaimana perkembangannya, pergaulannya, tingkah lakunya dan sebagainya. Tapi kali ini aku benar-benar tidak suka dengan sikap orang tuaku. Dengan rencana mereka yang akan menjodohkanku dengan seorang gadis di kampungku. Semula aku tidak percaya. Aku anggap omongan kakakku seminggu yang lalu hanya guyonan belaka. Mungkin kakakku hanya ingin “menakut-nakuti” aku yang sampai sekarang masih betah dengan status JOMBLO. Ah… aku jadi semakin pusing. Bingung. Kenapa jalan hidup seperti ini yang harus aku lalui?

“Kakak hanya guyon, kan?” tanyaku sekali lagi di telepon seminggu yang lalu.

“Aku serius, Di. Sepertinya Bapak dan Emak benar-benar merencanakan perjodohan itu. Semula aku juga tidak percaya, karena aku yakin kau tidak mau diperlakukan seperti ini.” Ada nada sesal dalam kalimat kakakku. Ah, Emak… Bapak…

“Kalau menurutmu bagaimana?” lama aku terdiam. Aku baru sadar ketika kakak kembali menyadarkanku dengan pertanyaan yang sama.

“Entahlah, Kak. Aku akan coba membicarakan masalah ini nanti setelah aku pulang.”

“Sebaiknya memang begitu, Di. Kau harus menjelaskan dengan hati yang tenang. Ungkapkan semua alasanmu kalau kau memang kurang suka dengan rencana itu.” Kututup gagang telepon dengan perasaan yang semakin tidak menentu.

11 Ramadhan 1426

Aku benar-benar bingung. Pusing tujuh keliling. Aku tidak bisa membayangkan seandainya orang tuaku benar-benar menjodohkan aku dengan perempuan yang tidak aku kenal itu.

“Gimana, Di? Jadi pulang besok?” Kak Wahyu, kakak kelasku yang sudah tiga tahun mengajar di pesantren ini tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Aku hanya tersenyum seraya menata lembar-lembar jawaban UTS yang berserakan di atas meja. Sebelum pulang aku harus menyelesaikan koreksian yang lumayan menumpuk. Maklum, pesantren baru saja menyelesaikan Rapat Tahunan (RAPTA) untuk mengganti pengurus organisasi yang lama. Jadi konsentrasiku terfokus pada kegiatan tersebut. Hingga tidak sempat mengoreksi jawaban-jawaban UTS.

“Insya Allah jadi, Kak. Tapi….”

“Tapi kenapa, Di? Kok kayaknya kamu kurang semangat untuk pulang. Seharusnya kamu kan gembira karena mau bertemu dengan keluargamu di kampung. Sudah dua tahun kan kamu nggak pulang?”

“Bukan karena aku akan bertemu mereka. Aku hanya belum siap bicara tentang masalahku itu.”

“Maksudmu tentang perjodohan itu?” Kak Wahyu mencoba menerka apa yang bersemayam dalam ruang pikiranku. Ya, masalah ini memang pernah aku sampaikan pada Kak Wahyu, karena aku benar-benar butuh bantuan seseorang yang bisa memecahkan kebuntuan pikiranku. Terutama masalah perjodohan yang menurutku sangat ‘mengerikan’ itu.

“Kamu tenang saja, Di. Sekarang jawaban itu ada pada kamu. Kalau kau memang cocok dengan pilihan orangtuamu, kenapa harus kamu tolak? Misalkan gadis itu sosok yang ideal menurut kamu, terutama akhlak dan agamanya. Itu kan lebih baik. Ingat, jodoh itu memang kadang-kadang datang melalui sebuah perantara. Siapa tahu jodoh kamu memang lewat pilihan orang tuamu?” tanpa aku duga Kak Wahyu mengeluarkan kalimat-kalimat yang cukup membuatku semakin pusing.

“Kok Kak Wahyu jadi mendukung orang tuaku?” tanyaku.

“Bukan masalah mendukung atau tidak. Sekarang masalahnya, bagaimana kalau pilihan orang tuamu itu ternyata cocok sama kamu?”

Aku kembali terdiam. Pikiranku berkecamuk. Kalau kupikir-pikir, apa yang dia sampaikan juga benar. Kenapa sih selama ini aku selalu berburuk sangka? Kalau perjodohan itu adalah sesuatu yang “kurang baik”? Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti apa yang ada dalam pikiran Kak Wahyu?

“Entahlah, Kak. Rasanya saya masih belum siap memikirkan masalah itu.”

“Belum siap bagaimana? Menurutku sudah saatnya kau untuk memikirkan masalah ini. Lagian ini kan masih proses. Siapa tahu pilihan orang tuamu cantik dan shalihah. Maaf, saya tidak bermaksud memprofokasi. Tapi begitulah….” Kulihat Kak Wahyu hanya tersenyum seraya meninggalkanku termangu di depan pintu. Mungkin ia tidak tahu apa yang sedang bergejolak dalam hatiku.

13 Ramadhan 1426

Jam dua belas siang. Alhamdulillah aku sampai di pelabuhan Sapeken setelah hampir empat belas jam menempuh perjalanan dari pelabuhan Kalianget. Perjalanan yang cukup melelahkan. Tinggal dua jam perjalanan lagi untuk sampai ke Desa Sepanjang, kampung halamanku. Desa tempat kelahiranku memang lumayan jauh dibanding pulau-pulau lain yang ada di Kabupaten Sumenep. Dari Sapeken aku harus ikut perahu selama dua jam untuk sampai di Tembing, pelabuhan yang tidak begitu jauh dari rumahku. Ah, Sepanjang… Apa kabar? Sudah lama aku tidak menjejakkan kakiku di pulau ini. Sudah dua tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini. Walau aku selalu berdoa untuk kampung halamanku tercinta.

Adzan Ashar menyadarkanku dari tidur. Rupanya aku benar-benar terlelap sejak perahu yang aku tumpangi berangkat dari pelabuhan Sapeken dua jam yang lalu.

Pelan aku turun dari perahu yang membawaku dengan selamat ke pelebuhan Tembing. Beberapa tukang ojek tampak berkerumun menawarkan tumpangan. Kuedarkan pandanganku ke tempat kerumunan orang-orang di pinggir pelabuhan. Kucari sosok Bapak yang katanya mau menjemputku dengan sepeda motor. Jadi aku tidak perlu naik ojek lagi untuk sampai ke rumah.

Nah, itu dia! Tapi… perasaan gembira dalam hatiku kembali memudar saat kulihat sosok lelaki tegap itu menghampiriku. Bapak! Orang yang selama ini aku banggakan. Sosok yang telah mengajarkanku banyak hal. Walau di satu sisi ada yang kurang aku sukai dari sifat beliau. Sifat otoriter yang sejak dulu tetap melekat pada diri Bapak. Tapi… Walau bagaimana pun beliau adalah orang nomor satu yang harus kubanggakan dalam kehidupanku. Maafkan saya, Pak….

“Bagaimana perjalanannya, Di? Capek, ya?” kusambut tangan Bapak dan kucium tangan beliau penuh takdzim.

“Alhamdulillah. Akhirnya aku sampai juga ke Sepanjang ini. Bagaimana kabar Ibu dan Tutik? Mereka baik-baik saja kan, Pak?”

“Mereka sehat-sehat saja. Kakakmu insya Allah besok lusa datang. Katanya dia mau ikut perahu milik nelayan dari Banyuwangi.”

Udara dingin tampak berdesir cukup dingin. Awan tebal bergantung menggayuti kaki langit bersama gerimis yang mulai menetes.

Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok penuh kerikil dan batu akhirnya aku sampai di rumah. Kulihat pemandangan di sekitar. Rumah-rumah panggung masih tetap mendominasi suasana desa Sepanjang yang tampak tenang. Walau ada beberapa yang sudah berganti rumah gedung.

13 Ramadhan 1426, jam 15.30 WIB.

Kedatanganku disambut dengan cukup meriah di rumah ini. Maklum, sudah dua tahun aku tidak pulang. Para tetanggaku pun banyak yang berdatangan menyambut kedatanganku. Setelah lama bercengkrama dengan keluarga dan segenap famili aku sowan ke rumah Ustadz Yusuf, guru ngajiku di surau sebelum aku nyantri ke kota. Suasana surau masih tampak seperti yang dulu.

“Saya sangat mengharapkan kehadiranmu di sini, Di. Kapan kamu akan pulang kampung?” Tanya Ustadz Yusuf.

“Kuliah saya masih tinggal dua tahun lagi, Ustadz. Nanti kalau sudah saatnya pulang, saya akan pulang untuk membantu rekan-rekan di sini untuk meramaikan mushalla.”

“Itu yang sampai saat ini saya usahakan, Di. Warga kampung di sini masih lebih suka shalat di rumah daripada shalat berjamaah di mushalla. Oh, ya, nanti habis tarawih kau isi kultum, ya. Sekali-kali nggak apa-apa kan?”

“Ustadz Yusuf kan lebih afdhol, daripada saya yang masih belum ada apa-apanya ini.”

“Nggak apa-apa, Di. Kamu coba saja nanti. Materinya terserah kamu.”

Lama aku terdiam. Menurutku, ini adalah tugas yang cukup berat. Menyampaikan dakwah di depan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan dan mental yang matang sebelum menyampaikannya.

“Insya Allah, saya akan mempersiapkan dulu, Ustadz.” Akhirnya kuiyakan tawaran Ustadz Yusuf walau masih ada sejumput keraguan yang menyelinap di bilik hatiku.

Tanpa terasa perbincanganku dengan Ustadz Yusuf semakin jauh. Dari masalah tradisi masyarakat yang masih belum berubah sampai perselisihan masalah “paham” yang akhir-akhir ini cukup hangat di masyarakat. Aku cukup serius mendengarkan semua cerita Ustadz Yusuf.

Doakan saya semoga lancar dan bisa pulang dengan cepat ke kampung ini, Ustadz. Bisikku dalam hati. Memang, mau tidak mau aku harus pulang ke kampung ini. Walau bagaimanapun ladang dakwah di sini harus selalu dipupuk agar masyarakat awam di kampung ini juga mempunyai daya pikir yang seimbang. Agar mereka juga merasa bertanggung jawab atas kampung Sepanjang yang lumayan potensial ini. Apalagi saat ini, di kampungku ini ditemukan ada sumber Migas. Sekian hektar lahan pertanian dibeli pemerintah untuk jalan dan lokasi pelabuhan. Itu berarti masyarakat di sini harus mempersiapkan SDM yang memadai agar tidak mudah dibodoh-bodohi.

17 Ramadhan 1426

Malam ini ada musyawarah keluarga. Musyawarah tentang rencana kedua orang tuaku. Aku masih bingung. Entah apa yang akan aku ungkapkan nanti pada mereka.

Alhamdulillah suasana musyawarah berlangsung cukup lancar. Bapak dan Ibu akhirnya menyerahkan semuanya kepadaku. Sekarang tinggal bagaimana aku menyikapi rencana mereka. Pada intinya mereka sangat mengharapkan aku bisa menikah dengan Aisyah, putri Bapak Wahyono yang sedang nyantri di Al-Ihsan, pesantren tempatku belajar waktu Tsanawiyah dulu.

Aku sama sekali tidak menyangka. Ternyata calon yang ditawarkan kepadaku adalah sosok akhwat sejati. Asli. Kemarin aku melihatnya saat lewat di jalan raya depan rumahku. Masya Allah, aku tidak pernah menyangka. Busana yang dikenakannya benar-benar busana yang menutup seluruh anggota tubuhnya. Jilbab yang dikenakannya pun sangat besar dan lebar. Bukan kudung gaul yang biasa digunakan untuk penutup kepala. Aisyah adalah sosok perempuan yang selama ini aku impi-impikan.

Allah… Jika dia memang ditakdirkan sebagai jodoh hamba, izinkan hamba mencintainya, setulus hati hamba.

18 Ramadhan 1426

Atas izin orang tuanya, akhirnya aku menemui Aisyah di rumahnya tadi pagi. Pertemuan pertama semenjak orang tuaku merencanakan perjodohan itu. Hati-hati aku coba bercerita tentang latar pendidikan dan pengalamanku selama ini. Aku agak rikuh juga. Ternyata dia pendiam. Dia sama sekali tidak memandang ke arahku selama aku bicara. Pandangannya tetap tertuju pada tikar plastik yang menghiasi lantai papan rumah Aisyah.

“Bapak banyak cerita tentang Antum.” Ucapnya tetap dengan pandangan tertunduk.

“Begitulah. Sebenarnya tidak ada yang bisa saya andalkan kecuali pengetahuan yang masih sangat sedikit. Kalau Anti sendiri bagaimana?”

“Saya sudah kelas tiga Aliyah. Beberapa bulan lagi lulus.”

“Ada rencana untuk kuliah?” tanyaku hati-hati.

“Entahlah. Belum ada rencana. Kalau kemauan ada, tapi yang saya pikirkan adalah biaya. Biaya kuliah kan mahal.”

Aku terdiam. Begitu juga Aisyah. Rasanya materi pembicaraan yang kupersiapkan habis sudah. Apa lagi ya, yang belum? Oh, ya. Aku masih belum membahas tentang masalah ini. Tentang perjodohan ini.

“Sebelumnya maaf. Menurut Anti bagaimana tentang rencana orang tua kita ini? Kalau memang Anti keberatan sebaiknya kita bicarakan. Kita harus sama-sama terbuka. Karena saya tidak mau ada penyesalan di kemudian hari. Maksud saya….”

Sepi. Cukup lama kami sama-sama terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing.

“Saya tidak bisa menjawab sekarang. Tapi yang jelas saya masih ragu dengan rencana ini. Maksud saya, saya khawatir Antum sudah punya calon di tempat Antum mengajar.”

Aku tersentak. Kenapa justru Aisyah yang punya pikiran seperti itu? Seharusnya aku kan yang lebih dulu bertanya apa dia sudah punya calon atau belum? Kok jadi seperti ini sih? Aku semakin bingung.

19 Ramadhan 1426

Pertemuanku dengan Aisyah kemarin menyisakan beribu pertanyaan dalam hatiku. Apa maksud pembicaraannya kemarin? Apa dia yang sudah atau sedang menjalani ta’aruf dengan orang lain?

Kalau aku sendiri, jujur kurang suka dengan perjodohan ini. Tapi melihat keseriusan orang tuaku yang ingin menyandingkanku dengan Aisyah, rasanya aku terlalu egois jika menolak rencana mereka. Karena menurutku, apa sih yang kurang dari sosok Aisyah? Jika melihat dari keluarganya, kurasa dia berasal dari keluarga yang baik-baik. Dan agamanya menurutku tidak perlu diragukan lagi. Tapi masalahnya sekarang adalah; apakah dia juga menerima perjodohan ini?

Ah… entahlah. Aku juga tidak tahu. Rasanya aku terlalu lancang kalau harus bertanya langsung masalah ini kepada Aisyah. Aku khawatir Aisyah tersinggung dengan pertanyaanku. Tapi apa yang harus aku lakukan? Kalau hanya aku saja yang merespon perjodohan ini, sedangkan dia tidak? Ah… kenapa aku berpikir sejauh itu? Ini kan baru proses. Entahlah. Kok tiba-tiba pikiranku jadi seperti ini?

Aku jadi teringat Kak Wahyu saat melakukan khitbah setahun yang lalu. Menurutku proses khitbah antara dia dan tunangannya tidak begitu rumit. Setelah melakukan proses ta’aruf mereka langsung melakukan khitbah. Walau tanpa ada yang menduga hubungan mereka kandas di tengah jalan. Tepatnya dua bulan yang lalu. Semua teman di pesantren terkejut dan tidak menduga kalau Kak Wahyu akan menggagalkan khitbah.

“Bertunangan terlalu lama itu rawan fitnah, Di.” Kilah Kak Wahyu saat aku menanyakan tentang masalahnya. Kak Wahyu hanya tersenyum.

“Kok nggak langsung nikah aja, Kak? Itu kan lebih baik.”

“Menikah?” dahi Kak Wahyu berkerut. Aku hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala.

“Menikah bukan hal yang mudah, Di. Perlu kesiapan mental yang matang. Juga persiapan finansial yang harus kita persiapkan semenjak sekarang. Sudahlah, mungkin antara aku dan dia hanya ditakdirkan bertemu sampai masa khitbah saja. Aku pasrahkan semua urusan ini pada Kuasa-Nya.”

Ah… aku jadi kasihan sama Kak Wahyu. Karena ternyata, seperti yang kudengar masalahnya bukan karena kekurangsiapan Kak Wahyu untuk melangsungkan pernikahan yang menyebabkan gagalnya khitbah itu. Konon ada orang ketiga yang berusaha menghancurkan hubungan mereka. Entahlah. Semuanya sudah terjadi. Dan Kak Wahyu sekarang kembali serius menekuni profesinya sebagai staf pengajar di pesantren di samping menjadi salah seorang pengurus sebuah Yayasan Sosial dekat pesantren.

23 Ramadhan 1426

Aku masih kurang yakin dengan isu yang berhembus tentang Aisyah. Ada yang bilang kalau Aisyah sudah melakukan ta’aruf dengan seseorang. Andai saja orang tuanya tidak mempunyai rencana, laki-laki itu akan melamar Aisyah. Ah, entahlah. Yang jelas kabar itu hanya kabar angin. Mungkin itu hanya ulah orang iseng yang berusaha mematahkan semangatku.

Penasaran, aku langsung mendatangi Aisyah. Aku harus tahu kebenaran isu itu. Kalau memang isu itu benar, rencana orang tuaku harus digagalkan. Aku tidak mau mengganggu hubungan orang lain. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaan Aisyah. Aku tidak bisa membayangkan seandainya aku berada di posisi teman Aisyah itu. Aku tidak mau dianggap sebagai perusak hubungan mereka.

Dan kekhawatiranku terbukti. Seperti kata orang, ternyata Aisyah memang sedang melakukan proses ta’aruf dengan salah seorang temannya di pesantren. Dia hanya tertunduk saat menjawab semua pertanyaanku.

“Maafkan saya, Kak Ardi. Bukan maksud saya untuk menyakiti hati kakak dan orang tua kakak. Saya yakin orang tua saya juga kurang setuju dengan pilihan saya ini. Tapi begitulah. Kami sudah sepakat untuk sama-sama berusaha meyakinkan hati orang tua.” Ada titik-titik air menetes dari sudut mata Aisyah. Ya, Allah… Baru kali ini aku melihat perempuan menangis di depanku.

“Saya sudah menduga, kalau rencana ini tidak akan berlangsung mulus seperti harapan kedua orang tua kita. Kalau Anti sudah mantap dengan pilihan Anti, kenapa harus ragu? Sekarang tinggal bagaimana Anti untuk bisa meyakinkan orang tua Anti. Dan saya yakin orang tua Anti akan memahami posisi Anti.” Aku tertunduk. Aku berusaha untuk meredam gejolak dalam hati yang nyaris menggelegak. Aku harus kuat. Karena aku sama sekali tidak berhak memaksa Aisyah untuk menerima hatiku. Setulus apapun cinta yang ada dalam hati ini.

“Demi suci cintanya, terimalah dia! Insya Allah kalian akan bahagia….”

“Amiin…. Sekali lagi afwan. Semoga Allah menganugerahkan Antum jodoh yang lebih baik, yang sesuai dengan pilihan dan kriteria Antum….” Lirih suara itu membelai halus gendang telingaku.

Setelah beberapa saat, aku pamitan. Kulihat ada sisa air mata yang melekat di pelupuk matanya.

“Assalamu’alaikum….” Ucapku lirih seraya meninggalkan halaman rumah Aisyah. Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di rumahnya. Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaannya.

24 Ramadhan 1426

Samar bahagia yang kudamba

Ternyata masihlah damba

Yang entah kapan menjelma nyata

Kata dan asa yang telah megah terbentang

Di ujung bendera cinta dan kebanggaan

Masihlah bukan suatu jaminan

Dan di barisan depan medan pertempuran

Aku masih menimbang bimbang

Adakah aku sudah tumbang

Ataukah masih tersisa setitik harapan

Penghilang luka dan dahaga

Oleh cinta, rindu-dendam

Yang mengoyak luka sekujur badan

Sepanjang jejak kenangan

Kudekap erat nganga luka

Lalu kurentangkan pada bendera cinta

Lalu selalu kubertanya pada Tuhan

Apakah makna sebuah harapan?

Dalam setiap kisah, entah mengapa

Selalu saja

Aku dipaksa untuk kalah 1

Malam 26 Ramadhan 1426….

Jam 03. 00 dini hari. Aku tersungkur dalam sujud panjangku. Kupasrahkan semua masalah ini kepada-Mu ya, Rabb. Beri hamba ketenangan hati. Singkirkan dari hati hamba sifat-sifat dengki yang berusaha menggerogoti amal hamba. Hamba yakin, takdir, maut dan jodoh ada di tangan-Mu. Semua adalah Rahasia-Mu.

Astaghfirullah… robbal baroyaa… astaghfirullah… minal khataayaa….

* * *

Sumenep, Malam 27 Ramadhan 1426 / 00.00

Sepenggal kenangan di Pulau Sepanjang.

1) Puisi ini dikutip dari buku “Risalah Patah Hati” karya Fahruddin Faiz (Penerbit TINTA)

0 komentar:

Posting Komentar