Pulang

08.23 / Diposting oleh untung wahyudi /

Pelan bis mini yang aku tumpangi merayap. Membelah arus lalu lintas yang tampak lengang di sepanjang jalan raya Lenteng-Sumenep. Meninggalkan kampus damai Pesantren At-Taubah, tempatku selama ini belajar ilmu agama dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Tempatku berinteraksi bersama teman-teman yang insya Allah sholeh dan sholehah.

Di jok belakang, bersama beberapa orang yang mungkin sibuk dengan lamunannya masing-masing aku duduk dengan tenang. Mencoba menata perasaan rindu pada Ayah-Ibu dan adik semata wayangku yang sudah meluap-luap. Sebuah kerinduan yang kutahan selama kurun waktu yang amat panjang.

Di antara desir angin yang menerobos lewat kaca jendela bis aku terlelap dan tenggelam dalam lamunan masa lalu. Tentang kampung halamanku yang lama kutinggalkan. Semenjak kepergianku ke Pesantren untuk menuntut ilmu, aku tidak tahu lagi bagaimana nasib kampung halamanku yang sarat dengan kemaksiatan dan pemurtadan itu. Kesyirikan yang semakin mewabah di lingkungan masyarakatku.

“Kuharap kelak kau bisa menjadi mentari bagi desa ini, Zal. Kasihan penduduk kampung kita ini yang sudah menjadi budak kesyirikan.” Pesan Ibu sebelum keberangkatanku ke pesantren. Aku terdiam sesaat. Seberat apakah beban seorang Da’i dalam menjalankan tugas dakwahnya ? Pekikku dalam hati.

“Insya Allah, Bu.” Ucapku yakin. Ibu menatapku penuh harap. Kulihat ada bening-bening kristal mengalir membasahi pipi beliau.

“Benar, Mas. Mas harus bisa mengubah semua budaya jelek penduduk kampung kita ini.” Ujar Aisyah, adikku.

Lagi-lagi aku terdiam. Mencoba menata hati yang kian sesak oleh perasaan haru dan sedih. Allah... beri hamba-Mu kekuatan. Doaku dalam hati.

* * *

Sebulan keberadaanku di kampung tercinta ternyata tidak membuahkan hasil apa-apa. Tak ada reaksi dan perubahan yang terjadi pada masyarakat sekitarku. Walau sedikit pun. Lebih-lebih pada keluargaku yang menjadi sasaran utama dalam tugas dakwahku.

Ayah seorang penjudi kelas kakap yang cerdas dan lihai. Tak seorang pun yang dapat menyaingi kelihaian beliau dalam berjudi.

Namun aku sadar bahwa tugas dakwah memang berat. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Kesabaran. Itu yang saat ini aku pupuk dalam hatiku. Kesabaran itu senantiasa menjadi bekal utama dalam menjalankan tugas dakwahku. Aku tidak ingin keimananku tergadaikan. Lebih-lebih pada saat yang sangat genting dan mengkhawatirkan ini.

* * *

Suasana rumah mendadak tegang. Hari ini Ayah kalah dalam berjudi. Beberapa kali Ibu berusaha mendinginkan suasana. Namun nihil. Senyum dan kelembutan yang dicurahkan Ibu dibalas dengan bentakan yang memekakan telinga. Mata Ibu berkaca-kaca.

Bedebah..! Dasar bangsat. Dasar dukun penjilat. “ Ayah mulai geram. Mukanya merah padam. Ada dendam dan kemarahan terekspresi lewat wajah tuanya. Kalau sudah begini, biasanya sulit untuk menenangkan suasana.

Dukun ? Ayah memang rajin pergi ke dukun. Hampir setiap hari beliau menyempatkan diri untuk pergi ke dukun. Hanya untuk menanyakan, apakah beliau punya harapan menang atau tidak dalam berjudi.

Kepercayaan Ayah terhadap hal-hal yang berbau mistik itu memang kental. Hampir setiap aktifitasnya selalu beliau kaitkan dengan masalah kedukunan.

“Ayah.., makanya jangan terlalu percaya sama dukun. Mereka hanya butuh uang. Jadikanlah Allah sebagai tempat mengadu, niscaya masalah-masalah tersebut akan mudah terpecahkan.“ Aku mencoba mengakhiri ‘khotbah’ singkatku. Aisyah mengangguk mantap mengiyakan setiap kata-kataku. Tapi Ayah tidak sedikit pun merespon kata-kataku. Beliau tersenyum sinis.

“Jangan coba-coba mengkhotbahi Ayahmu ini, Zal. Percuma. Ayah sudah kenyang dengan khotbah semacam itu.”

“Kalau begitu, Ayah tinggal mengubah sikap dan pekerjaan Ayah. Sadarlah bahwa judi itu haram. Pekerjaan syetan. Orang yang ingin kaya dan berhasil bukan berjudi, tapi bekerja.” Ayah menatapku tajam penuh misteri. Kutundukkan pandanganku agar tidak terkesan menantang. ”Percuma Ayah menempatkan aku ke Pesantren. Kalau Ayah masih begini.” Lanjutku. Ibu menoleh ke arahku. Ada kekhawatiran terpancar lewat pandangan matanya. Aku dapat membaca itu. Ada kesedihan bergejolak dalam batinnya.

“Sudahlah, Zal. Mungkin suatu saat Ayahmu akan sadar. Yakinlah kalau semua ini tidak lepas dari skenario Allah. Yakinlah, Zal...!” bujuk Ibu seraya memegang kedua tanganku. Aku mendongak. Menatap mata beliau yang kian sembab.

“Tapi aku sudah tidak tahan lagi melihat kondisi Ayah yang semakin memprihatinkan, Bu. Kesyirikan itu telah mencabik-cabik kepercayaan Ayah kepada Sang Khaliq.” Tak terasa mataku mengembun. Ada air bening menggelinding lewat mataku.

“Sabarlah, Nak. Innallaha ma’asshabirin.”

* * *

Hati-hati kutelusuri jalan setapak menuju rumah Ustadz Marzuqi. Guru ngajiku, ketika aku masih mengaji bersama teman-teman se-kampung. Lima tahun yang silam.

Hari sudah menjelang Isya’. Kupercepat langkahku agar tidak terlalu malam.

Antum perlu sama siapa ?” tanya seorang Bindere (Santri) seraya mempersilakan aku duduk.

“Ustadz Marzuqi, ada ?” tanyaku.

“Oh…ada. Tunggu sebentar. Akan aku panggil beliau.”

Dengan takdzim pemuda berjenggot tipis itu melangkah menuju tempat kediaman Ustadz Marzuqi. Beberapa meter dari ruang tamu. Tak lama kemudian, Bindere itu pun keluar bersama Ustadz Marzuqi.

Assalamu’alaikum…” ucapku menyalami beliau.

Wa’alaikum salam, wah… bagaimana kabarmu, Nak Rizal ?”

Alhamdulillah, baik-baik saja Ustadz.”

Lelaki tua bersurban itu merangkulku penuh kerinduan. Selama lima tahun di Pesantren, baru kali ini aku bertemu dengan Ustadz Marzuqi. Guru ngajiku yang dengan sabar mengajariku akhlak dan budi pekerti. Aku bahagia bertemu dengan beliau.

“Bagaimana perkembangan dakwah di sini, Ustadz ?” Aku membuka pembicaraan. Ustadz Marzuqi menggelengkan kepala.

“Memangnya ada apa, Ustadz...?” tanyaku kemudian.

“Rizal, kesyirikan dan pemurtadan di sini semakin mewabah. Banyak sudah korban dari pemurtadan tersebut. Lebih-lebih mereka yang mayoritas awam. Mereka sangat mudah sekali terpengaruh. Dan tidak ketinggalan juga remaja-remaja kita. Mereka semakin brutal.” Aku terpekur sejenak. Kuharap ada ilham dan ide cemerlang yang dapat kusumbangkan untuk kepentingan dakwah di kampungku.

“Dan yang sangat aku prihatinkan… Maaf...!” Ustadz Marzuqi menggantung kalimatnya. Aku penasaran.

“Apa itu, Ustadz...?” kejarku.

“Ayahmu, Nak Rizal.”

“Memangnya kenapa, Ustadz ?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Ustadz Marzuqi melanjutkan kata-katanya. Deg...!! Jantungku seolah-olah mau copot mendengar penuturan jujur Pak Ustadz. Aku yakin beliau tidak akan pernah berbohong. Dan itu realistis. Sesuai dengan fakta yang aku ketahui tentang Ayah. Allahumamaghfirli waliwaalidayya warham humaa kama robbayaani shoghiraa…

* * *

“Bangsat..! Siapa di antara kalian yang makan sesaji yang ada di kamar Ayah ? Siapa..!?” Aku terlonjak kaget mendengar suara gaduh di ruang tengah. Ayah murka lagi. Pasti beliau kalah lagi hari ini.

“Kenapa kalian cuma diam? Di mana sesaji itu...??” Seisi rumah sudah berantakan. Perabot-perabot rumah berserakan di ruang tengah. Sesaji...? Aku jadi ingat seorang pengemis yang kemarin datang ke rumah ini. Dia butuh makan. Dan sesaji itu aku berikan kepada pengemis yang kelaparan itu.

“Rizal… Kenapa kau cuma diam !!?” bentakan Ayah membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Menatap pandangan mata Ayah yang kian menghunjam.

“Maaf, Ayah. Sesaji itu Rizal berikan kepada seorang pengemis yang kemarin datang ke sini. Dia kelaparan, dan…”

Plak...plak...!!” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, tangan kekar Ayah sudah mendarat di pipiku.

“Kurang ajar kamu, Zal..! Kau pikir sesaji itu untuk apa, hah...?” bentak Ayah geram. “Sesaji itu bukan untuk dimakan, tapi untuk persembahan. Akhir-akhir ini banyak dedemit-dedemit yang gentayangan di rumah ini. Kau tahu...?” kemarahan Ayah semakin membuncah. Aku tak sanggup menatap tatapan matanya yang makin tajam.

“Ayah, semua penyakit dan musibah itu datangnya dari Allah. Bukan dedemit atau apa pun yang mendatangkan musibah itu. Kembalikanlah semua kepada Allah.”

“Rizal, jangan bikin Ayahmu ini murka. Kalau kau masih tetap tidak menuruti kata-kata Ayah, lebih baik kau minggat dari rumah ini !!!” Suara Ayah semakin keras. Pertanda kesabarannya sudah mulai menipis.

“Kalau memang itu kehendak Ayah, baiklah, aku akan pergi dari rumah jahanam ini.” Ucapku kemudian. Kesabaranku pun mulai menipis. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa pesimis menghadapi semua fenomena ini. Astaghfirullah. Aku hanya mampu beristighfar dalam hati.

Kulihat Ibu dan Aisyah menghampiriku. Memegang erat kedua tanganku. Seolah-olah mereka berat membiarkan aku pergi.

“Tawakkal anakku. Cobaan ini belum seberapa. Kalau kau pergi, berarti kau membiarkan keluarga kita ini terjerat dan terbelenggu dalam kemusyrikan. Yakinlah bahwa Allah menyertaimu. Dan suatu saat pasti akan memudahkan semua kesulitan dalam perjalanan dakwahmu.” Air mata Ibu tumpah. Tangisnya pecah. Ada rasa sedih dan haru menyergap perasaanku saat kupeluk erat tubuh beliau.

“Benar Mas, Penduduk di sini masih butuh taushiyah-taushiyahmu. Kau harus tegar menghadapi semua ini.” Timpal adikku.

Astaghfirullah. Hampir saja aku putus asa. Untunglah ada taushiyah-taushiyah Ibu yang menggugah kembali semangat dakwahku. Ya Allah… berilah hamba-Mu ini kesabaran dalam menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan di muka bumi-Mu ini.

* * *

Rasa tak percaya masih menggelayuti perasaanku. Tapi ini bukan mimpi. Sosok tubuh yang terbujur kaku di depanku adalah Ayahku. Orang yang telah mendidik dan membesarkan aku. Tidak...!! Jerit batinku. Aku terlambat. Aku terlambat untuk meluruskan kembali aqidah Ayah.

Darah segar itu masih menggenangi luka yang bersarang di kepalanya. Mukanya babak belur. Ayah dikeroyok teman-temannya sendiri di bandar judi. Allah… Mengapa ini harus terjadi pada Ayah? Inikah akhir dari perjalanan dakwahku selama ini? Tidak. Aku belum berhasil. Aku harus berhasil mengislamkan kembali penduduk kampungku yang selama ini terjebak dalam kemusyrikan. Aku harus berhasil merebut kembali keimanan mereka yang selama ini terampas.

Badanku mendadak lemas. Kepalaku berdenyut pusing. Batinku berkecamuk. Ya Allah… berilah hamba-Mu kekuatan dalam meneruskan perjalanan dakwah ini. Laahaula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adzim...

* * *

Sumenep, 2002

*) Kado cinta untuk kedua orang tuaku.

0 komentar:

Posting Komentar