Dua bulan lagi aku lulus dari Al-Mukmin. Pesantren tempatku belajar sejak pertengahan tahun 1996 silam. Alhamdulillah akhirnya aku bisa menyelesaikan study-ku sampai SMA. Dulu aku hampir berhenti dari pesantren ini. Bapak yang hanya seorang petani sudah hampir tidak bisa membiayai pendidikanku. Sejak krisis moneter melanda negeri ini sekitar tahun 1998, Bapak hampir kehilangan kemampuan untuk membayar SPP dan biaya hidupku di pesantren. Aku hanya mampu berdoa semoga Allah memberikan Bapak kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana seandainya aku benar-benar putus sekolah.
Waktu itu aku kelas 3 SMP. Hampir semua sembako dan alat-alat kebutuhan sekolah melonjak naik. Tapi alhamdulillah, berkat doa, kegigihan dan kesabaran Bapak dalam mencari nafkah akhirnya sampai detik ini aku bisa menyelesaikan pendidikanku. Aku bersujud, bersyukur kepada-Nya. Betapa aku dulu hampir putus asa dan nyaris menyalahkan takdir dan suratan Ilahi. Dulu aku pernah merutuk diri, kenapa terlahir sebagai orang miskin, serba kekurangan dan orang tuaku selalu hidup dalam kemelaratan. Padahal kalau aku melihat sebagian teman-temanku di pesantren, mereka dengan mudah membeli apa saja yang mereka suka. Mereka tinggal kirim
Tapi kini, kebingungan dan kegamangan hati itu datang lagi. Saat teman-teman sekelas bersemangat untuk melanjutkan pendidikan mereka ke Universitas aku hanya mampu berdecak kagum melihat kegembiraan mereka. Siapa yang tidak ingin kuliah? Siapa yang tidak ingin menikmati manisnya duduk di bangku Universitas? Aku yakin semua orang mengimpikannya, menginginkannya. Termasuk aku. Tapi kalau melihat kondisi ekonomi orang tua sekarang apakah mungkin?
Memang aku terlahir sebagai bungsu, yang kata orang anak bungsu itu selalu dituruti keinginannya. Tapi bukan berarti aku harus memaksa orang tua untuk tetap ngotot mau kuliah. Rasanya untuk ke
Kakak sulungku yang laki-laki bahkan sudah menikah saat umurnya masih duapuluh tahun. Dan dalam usia duapuluh dua dia sudah menimang seorang anak. Sehingga bertambahlah beban kakakku itu dengan kehadiran si buah hatinya. Sedih rasanya mengenang perjalanan mereka yang sangat susah. Dalam usia muda mereka sudah berusaha bekerja, menjadi kuli sebagai buruh tani demi sesuap nasi. Ya Allah, berkahilah pekerjaan mereka. Semoga mereka tercatat sebagai anak yang birrulwalidain di hadapan-Mu.
Awal Juni 2002
Tadi malam sehabis Isya’ semua kelas akhir yang akan lulus dipanggil Pimpinan pesantren, Dy. Ada pengisian angket dan tajuk rencana kami setelah lulus dari pesantren ini. Bagi teman-teman yang mampu mereka pasti memilih kuliah sebagai pilihan mereka. Tapi bagi yang kurang mampu, maka mereka akan memilih mengabdi di pesantren. Baik di dalam atau di luar pesantren ini. Aku sendiri, setelah berulangkali istikharah akhirnya memilih mengabdi sebagai alternatif terakhir.
“Kamu mau ngabdi di mana, Yud?” tanya Rozy, salah seorang teman akrabku yang setelah lulus nanti akan kuliah ke Jakarta. Ia ingin ikut SPMB dan berobsesi untuk masuk Psikologi UI.
“Pasti ngabdi di dalam.” Seru Tikno, temanku yang suka ngocol itu. Tikno adalah satu di antara sekian temanku yang bikin suasana cair. Tak jarang ia suka membuat kami tertawa terpingkal-pingkal oleh banyolannya.
“Aku nggak milih di mana-mana. Yang penting mengabdi. Kalo aku memilih di dalam, aku khawatir dibilang ‘muluk-muluk’ dan terlalu PD. Karena aku tidak sepandai guru-guru yang ada di dalam.” Ujarku sembari menyerahkan lembaran angket ke Ustadz Suryadi, wali kelas kami.
“Kok nggak milih di dalam aja, Yud? Di sini fasilitasnya
Dalam urusan tempat pengabdian, memang pihak pesantren lah yang menentukan. Makanya aku nggak menentukan tempat. Di taruh di dalam, insya Allah aku akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini. Di tempatkan di luar, kupikir juga oke. No problem. Itung-itung nyari pengalaman baru di luar sono. Ah, betapa hidup di pesantren sangat menyenangkan. Di tempat inilah aku banyak menempa berbagai disiplin ilmu. Agama, umum dan yang lainnya. Rasaya baru kemarin kami tinggal di sini.
30 Juni 2002
Aku masih nggak percaya, Dy dengan keputusan Pimpinan Pesantren. Aku ternyata terpilih untuk mengabdi di pesantren ini bersama enam teman sekelasku. Ya, aku nggak mau milih-milih, Dy. Ini adalah pengalaman pertamaku mengajar, menjadi seorang pendidik yang mampu mengayomi para santri dengan baik dan penuh kesabaran. Semoga saja aku diberikan kesabaran juga kekuatan dalam mengemban amanah besar ini.
15 Juli 2002
Hari ini hari pertamaku mengajar di depan para santri, Dy. Di depan murid-murid yang memiliki bermacam karakter. Yang rajin, yang nakal, yang suka bolos dan seabrek tingkah laku santri yang memerlukan ekstra kesabaran.
Aku baru tahu dan sadar, beginilah susahnya jadi seorang Murabbi. Dulu saat jadi santri, aku juga seperti mereka. Suka melanggar dan tak jarang membuat para pengurus pesantren kelabakan. Aku masih ingat, saat aku harus baca
Pada kesempatan ini aku juga diberi tugas untuk menjadi wali kelas 3 SMP. Belum apa-apa aku sudah pusing bin puyeng duluan. Bayangkan, mengurusi anak-anak kelas 3 yang…?
Aku jadi ingat saat kelas 3, kami sekelas pernah menggugat seorang pengurus pesantren yang ketahuan punya hubungan dengan seseorang di pesantren ini. Tapi sungguh, bukan aku minder dengan tugas baru ini. Tapi menangani anak-anak kelas 3 yang “over kreatif” itu? Ah, moga-moga mereka nggak akan bikin ulah.
Awal Agustus 2002
Kekhawatiranku terjadi, Dy. Andi, salah seorang anak didikku di kelas 3 ketahuan punya hubungan dengan seorang santriwati.
Setelah melalui proses sidang yang cukup menegangkan, akhirnya aku panggil Andi ke kantor guru. Kulihat Andi hanya menunduk. Mungkin ia malu atau takut rambutnya yang lurus dan bagus itu dipangkas ala ABRI atau diplontos kayak punya Rohaye pemeran Kecil-kecil Jadi Manten itu.
“Kau mau kehilangan rambutmu, Andi?” tanyaku mulai menginterogasi. Kubuka kopiah di atas kepalanya seraya memegang-megang rambutnya yang agak panjang. Ia semakin gugup dan takut.
“Kamu kenapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Sa… saya. Berhubungan dengan seorang santriwati, Ustadz.” Jawabnya gugup. Ia semakin menunduk.
“Kenapa kau masih nekad? Kau tahu kan disiplin pesantren ini. Boleh nggak pacaran di tempat ini?”
“Saya hanya iseng, Ustadz.” Jawabnya lagi. Santri lima belas tahunan di depanku itu terus menekuri lantai keramik yang ia tempati. Ia semakin menyembunyikan wajahnya yang kian kusut. Setelah kusampaikan beberapa wejangan dan peringatan, akhirnya kuperkenankan Andi keluar. Tentu setelah kusampaikan sanksi yang harus ia kerjakan.
Awal Januari 2003
Diary….
Ternyata jadi seorang pendidik itu nggak mudah. Rasanya aku harus banyak belajar memahami anak didik. Mereka yang mayoritas anak-anak sangat membutuhkan perhatian dan pengayoman yang mampu membuat mereka sadar dan berkembang. Berubah sesuai harapan orang tua mereka saat memasukkan anak-anaknya ke pesantren ini.
Capek juga ya, Dy mengawasi mereka selama dua puluh empat jam. Tapi ini tugas dan kewajiban yang harus aku lakukan. Aku hanya berharap apa yang aku dan rekan-rekan Asatidz berikan kepada mereka bisa bermanfaat. Dunia akhirat.
15 Januari 2003
Aku rindu dan kangen teman-temanku, Dy. Di mana mereka sekarang? Apa yang mereka lakukan di malam yang dingin dan hujan yang lebat ini? Pasti mereka senang jadi Mahasiswa, ya, Dy. Pasti mereka lagi asyik ngalor-ngidul bersama teman-teman baru mereka di kampus. Aduh, enak nggak ya Dy, jadi anak kampus itu…?
“Aku paham apa yang kamu pikirkan, Yud. Kamu pasti sedih karena belum bisa melanjutkan kuliah. Tapi jangan putus asa, Yud. Kalau kau berusaha dan berdoa insya Allah akan ada jalan terbaik untukmu.” Kata-kata Rozy yang selalu mendongkrak semangatku itu masih mengiang-ngiang di telingaku. Dialah teman sejatiku. Dialah yang selalu mensupport aku supaya mencari jalan lain menuju sukses. Menurutnya kuliah itu hanya formalitas. Kalau kita berusaha menggali kreatifitas, insya Allah akan ada jalan lain yang akan membawa kita ke tangga kesuksesan.
Pesan itulah yang sampai saat ini masih melekat dan hatiku. Ia yang selalu mendukung aktifitas menulisku saat aku keranjingan menulis saat kelas 2 SMA dulu.
“Tema ceritamu bagus. Cuman tema ini sudah umum. Cobalah untuk menggali tema yang lebih unik, modern dan Islami.” Begitu komentar Rozy saat membaca salah satu cerpenku di mading kelas dulu. Terima kasih, Zy. Semoga Allah selalu bersama langkahmu….
20 Januari 2003
Hobi menulisku terangsang lagi, Dy. Setelah sekian bulan vacum. Maklum, kegiatan dan tugas yang lumayan padat membuatku kurang membagi waktu. Padahal kalau memang punya tekad kuat, menulis itu bisa dilakukan pada malam hari. Saat suasana sunyi dan sepi. Tapi dasar aku yang memang sering bergantung pada mood dalam menulis. Aku lebih memilih tidur daripada menghayalkan sebuah cerita.
Tapi aku janji, Dy. Aku akan lebih rajin lagi menulis. Aku akan terus berlatih dan terus berlatih. Aku ingin sekali suatu saat karyaku bisa dimuat media
Tapi tak apa-apa, aku jadi ingat perjalanan kepenulisan Mas Joni Ariadinata, salah seorang pengarang favoritku yang tinggal di Yogya. Dulu sebelum menjadi sastrawan terkenal ia pernah bekerja sebagai penarik becak dan buruh pabrik. Tapi ia selalu menyempatkan diri untuk menulis di sela-sela kesibukan dan rasa penat yang merejam-rejam tubuhnya. Hingga pada suatu ketika, cerpen ‘Lampor’ karyanya mengantarkannya menjadi seorang cerpenis terbaik harian Kompas pada tahun 1994. Bayangkan, dari Abang Becak ke Sastrawan terkenal!
Sungguh, aku ingin meniru kegigihan dan semangat Mas Joni Ariadinata yang menurutku sangat luar biasa itu….
Akhir Maret 2003
Hadiah dari Allah itu….
Aku menangis, Dy. Bersyukur atas kebesaran Allah. Rasa tak percaya masih belum bisa kuhilangkan. Tapi ini bukan mimpi, Dy. Mungkin ini benar-benar hadiah dari Allah atas usahaku selama ini. Salah satu cerpenku yang kukirim sebulan yang lalu ke sebuah penerbit di
Tanganku gemetar saat membuka paket buku yang kuterima dari Pak Pos tadi siang. Subhanallah… Benar, Dy. Cerpenku ada di antara 17 cerpen karya para penulis lain yang hampir kesemuanya dari pesantren. Ya, Allah…. Maha suci Engkau atas segala nikmat dan karunia-Mu.
***
Sumenep, 31 Januari 2005
0 komentar:
Posting Komentar