Siang yang muram di RSUD Sumenep. Aku duduk di samping tubuh Ozy yang dihiasi selang infus. Sesekali kuperhatikan tubuhnya yang kian menirus. Matanya yang cekung dan hampir satu jam tidak berkedip membuatku bergidik. Pelan perasaan bersalah berkelebat dalam pikiran. Sebagai salah seorang teman dekatnya aku merasa bersalah karena telah gagal menyadarkan kebiasaannya. Sebuah kebiasaan yang telah menyebabkan ia terbaring tak berdaya di tempat yang serba putih ini.
Semua penghuni Al-Azhar tahu siapa Ozy. Sifatnya yang pembangkang dan bengal membuatnya kian terkenal di seantero pesantren. Kebiasaannya melanggar disiplin pesantren telah menyebabkan namanya tercoreng tinta hitam. Cap santri pembangkang telah melekat pada dirinya.
Ia perokok berat. Bahkan baginya rokok adalah candu yang membuatnya ketagihan. Semenit saja tidak mengisap asap beracun itu ia tidak akan betah. Makanya ia yang paling sering melanggar disiplin dilarangnya merokok.
Pernah suatu ketika aku didera rasa bersalah dan gelisah saat memergoki Ozy merokok di kamar mandi saat semua penghuni pesantren tertidur pulas. Waktu itu tengah malam. Dentang bel di depan kantor pusat berbunyi dua belas kali. Saat itulah semua bulis malam bangun untuk menjaga keamanan. Aku baru saja hendak ke kamar mandi untuk membuang hajat saat kulihat Ozy keluar dari kamar mandi belakang asrama. Di genggamannya ada sebungkus rokok yang hendak dimasukkan ke kantong celananya. Aku buru-buru menghindar. Menyelinap di balik tembok asrama. Aku khawatir ia tahu kalau aku melihatnya.
Setelah kembali ke kamar tiba-tiba aku sangat sulit untuk memejamkan mata. Rasa kantuk yang semula menyerang tiba-tiba hilang setelah melihat apa yang dilakukan teman dekatku itu. Perasaan gelisah mulai muncul dalam benakku. Aku bingung. Apa aku harus melaporkan kejadian ini kepada keamanan? Atau aku harus tutup mulut, membiarkan pelanggaran demi pelanggaran merajalela di pesantren ini?
“Ozy itu teman dekatmu. Kalau kau melaporkan kejadian itu, berarti Ozy akan diberi sanksi lagi. Bahkan ia bisa-bisa diskorsing dari pesantren ini.”
“Tapi ini masalah disiplin. Siapapun orangnya, kauharus melaporkan! Ingat, apa yang akan kamu lakukan ini benar. Kau bukan menfitnah!”
Suara-suara itu terus berdenging memenuhi ruang pikiranku. Ya Allah, kalau apa yang akan hamba lakukan ini benar, lindungi hamba dari hal-hal yang tidak hamba inginkan, doaku dalam hati. Walau tidak jua menghilangkan perasaan gelisah dalam hatiku.
Keesokan harinya Al-Azhar geger. Bagian keamanan organisasi menemukan beberapa puntung rokok berserakan di kamar mandi belakang asrama Abu Bakar. Semua penghuni asrama dikumpulkan, termasuk aku dan Ozy yang menghuni kamar IV. Satu persatu kami diinterogasi. Ustadz Taufik, bagian keamanan pusat yang menangani langsung kasus ini. Tapi semua santri tutup mulut. Mereka tidak ada yang melihat santri yang masuk kamar mandi tepat pada jam dua belas malam.
“Sekali lagi saya tanya, siapa di antara kalian yang melihat ada seorang santri masuk kamar mandi sebelum jam setengah satu tadi malam?” suara Ustadz Taufik mulai meninggi. Namun seperti sebelumnya semua bungkam. Tak ada yang angkat bicara. Mulut-mulut mereka seolah-olah terkunci. Aku sendiri semakin salah tingkah dan mulai gelisah. Berarti hanya aku yang melihat kejadian semalam? Pikiranku kalut. Bingung. Tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Kamu nggak lihat, Fir?” bisik Ozy di sampingku. Aku menoleh. Kulihat raut wajahnya biasa-biasa saja. Seolah-olah tidak ada beban masalah bersemayam dalam pikirannya. Mungkin ia mengira tidak ada yang melihatnya tadi malam.
“Mungkin ada Ustadz yang merokok di kamar mandi tadi malam. Yang boleh merokok di pesantren ini kan hanya Ustadz?” seru seseorang di pojok ruangan. Semua mata menoleh ke arah santri yang angkat bicara. Apa yang disampaikan salah seorang teman kami itu benar. Yang boleh merokok di tempat ini hanya orang yang menyandang predikat Ustadz. Yang lain tidak ada yang boleh merokok. Makanya tidak sedikit dari kami yang kadang protes karena merasa hal ini tidak adil.
“Memangnya kalian pikir para Ustadz tidak punya tempat untuk merokok? Sampai mau merokok di kamar mandi kalian?” seru Ustadz Taufik. Kami hanya diam. Setelah beberapa saat kemudian kami diperbolehkan keluar dari ruang sidang. Kali ini Ozy benar-benar selamat, pikirku. Tapi perasaan bersalah dan berdosa karena telah berbohong terus membayangi perasaanku. Aku harus melaporkan kejadian ini! Pekikku dalam hati.
***
Ba’da Isya’ aku membulatkan tekad untuk menghadap Ustadz Taufik. Lama aku berdiri di depan kamar beliau yang tidak jauh dari kantin dekat asrama itu.
“Assalamu’alaikum….” Akhirnya kuucapkan salam. Lama tidak ada jawaban, ketika samar kudengar kaki melangkah dari dalam.
“Waalaikum salam.
“
“Tentang apa?”
“Tentang kejadian semalam,”
“Kau tahu siapa yang melakukan?” tanya Ustadz Taufik dengan nada menyelidik. Aku diam beberapa saat. Sambil kuatur nafas kuceritakan semua apa yang kulihat. Ustadz Taufik tampak serius mendengar penuturanku.
“Tapi kau tidak salah lihat,
“Insya Allah saya tidak salah lihat. Saya benar-benar melihat Ozy keluar kamar mandi dan membawa sebungkus rokok.” Kataku meyakinkan keraguan beliau.
“Benar-benar belum kapok anak itu!” Seru Ustadz Taufik penuh sesal. Aku tahu apa yang ada dalam pikiran beliau sekarang. Berulangkali beliau menangani kasus serupa dan pelanggarnya itu-itu saja. Ozy. Ya, Ozy adalah langganan pelanggar disiplin ini. Entah sudah berapa kali rambutnya dibotak gara-gara merokok semenjak ia mondok. Membaca surat pernyataan di depan seluruh santri sudah menjadi langganannya.
“Syukran atas laporan kamu. Lain kali jangan sungkan untuk melaporkan kejadian seperti ini. Kerena dengan melaporkan kejadian ini berarti kau sudah membantu melancarkan jalannya disiplin pesantren.” Akhirnya Ustadz Taufik menyilakan aku keluar.
Lega. Ya, perasaan itu yang aku rasakan setelah keluar dari ruang Ustadz Taufik.
Tapi apa yang telah aku lakukan? Aku telah melaporkan temanku sendiri. Aku telah memberikan Ozy peluang untuk segera diskorsing dari pesantren ini. Namun aku berharap pihak pesantren tidak akan mengeluarkan Ozy dari pesantren ini. Karena aku masih berharap suatu saat Ozy sadar dan mau menghentikan kebiasaan buruknya itu.
Dan Ozy benar-benar disidang. Entah bagaimana ekspresi kemarahan Ustadz Taufik saat menyidangnya. Aku tahu Ustadz Taufik penyabar. Tapi sebagai keamanan, aku tahu beliau akan bertindak tegas demi kelancaran disiplin pesantren. Kalau tidak, maka disiplin hanya akan dianggap suatu yang tidak penting. Bahkan mereka akan menginjak-injak disiplin yang diterapkan di pesantren ini.
Aku sempat terkejut saat hendak menubruk Ozy yang tiba-tiba melintas di depanku yang hendak ke kamar. Di wajahnya sempat kutangkap ada raut kekesalan dan kemarahan yang aku yakin akan dilimpahkan kepadaku.
Tapi aku sudah siap dengan apa yang akan terjadi. Selama itu tidak menginjak-injak harga diriku. Karena aku yakin apa yang aku lakukan benar. Aku tidak menfitnah Ozy. Dan tujuanku hanya satu; berharap Ozy menyadari perbuatannya yang selama ini salah. Bahwa kelakuannya di sini sudah membuat resah pengurus pesantren. Dan kalau itu dibiarkan, maka pihak pesantren tidak akan segan-segan mengeluarkannya dari tempat ini.
“Hei, Fir! Aku nggak nyangka kalau ternyata kau bermulut ember. Mulutmu tak jauh beda dengan mulut ibu-ibu RT yang suka ngerumpi, ngegosip. Ternyata kau tidak bisa menyimpan rahasia. Semula aku mengira kalau benar kau melihatku waktu itu, kau akan diam karena aku tahu kau tidak akan melakukan perbuatan yang pantas dilakukan oleh seorang pengecut itu. Tapi ternyata?” geram suara Ozy bergetar. Kulihat api kemarahan di wajahnya berkobar-kobar. Hilang sudah semua kelembutan dan keakrabannya selama ini. Berganti kata-kata kasar yang membuat emosiku juga terangsang.
“Aku hanya ingin kau bisa menghentikan kebiasaan burukmu itu, Zy. Aku tahu itu masalah pribadi kamu. Tapi kalau ini kau lakukan terus menerus, maka kamu sendiri yang susah. Kau tidak mau kan diskorsing hanya gara-gara masalah ini?” kataku mencoba menenangkan suaranya.
“Alah, persetan dengan itu semua! Dan itu tidak akan terjadi kalau tidak ada santri yang melaporkan. Sudahlah, ini urusanku. Kau tidak akan bisa membuatku alim dan penurut sepertimu. Kau ajak yang lain saja untuk mendengarkan ceramahmu. Dan sekali lagi kau tidak usah ikut campur!”
“Tapi aku
Ozy tergelak. Sinis.
“Teman? Jadi ini yang kauanggap pertemanan? Apa bentuk persahabatan seperti ini yang kau pertahankan?” suara Ozy kian meninggi. Beberapa pasang mata sempat menoleh ke arah kami.
“Tapi….”
“Ah! Jangan banyak bacot! Aku tidak butuh khotbah murahanmu lagi. Aku muak!” tanpa kuduga nada kasar itu keluar dari mulut Ozy. Ia melangkah meninggalkanku yang masih termangu di depan pintu. Beberapa teman kulihat menghampiriku. Sungguh, aku tidak membayangkan Ozy akan semarah itu!
***
Semenjak kejadian itu Ozy tidak lagi menyapaku. Setiap kusapa ia selalu cuek dan menghindar. Aku tahu dia marah besar. Dan kini, rambutnya yang mulai memanjang itu sudah hilang. Tak selembar rambut pun yang tersisa di batok kepalanya. Ia dibotak! Dan ini gara-gara aku! Gara-gara laporanku yang kini juga meretakkan hubungan persahabatanku.
Sesekali melintas pikiran sesal dalam pikiranku setelah kutahu semua seperti ini. Tapi perasaan itu berusaha kubuang jauh-jauh. Aku yakin suatu saat hati Ozy akan melunak. Dan tali persahabatanku dengannya akan kembali terikat. Entah kapan.
“Sudahlah, Fir. Aku tahu kau masih merasa bersalah setelah kejadian itu. Tapi aku yakin Ozy akan menyadari perbuatannya.” Kata Kak Ikbal, kakak kelasku yang setengah tahun lalu terpilih sebagai ketua bagian keamanan organisasi.
“Sebenarnya aku hanya khawatir Ozy akan diskorsing,” kilahku seraya kubuka buku pelajaran Ushul Fiqih. Kulihat kak Ikbal tersenyum.
“Aku yakin pihak pesantren tidak akan semudah itu mengeluarkan santrinya. Kecuali mungkin pelanggaran yang sifatnya syar’i seperti mencuri atau pacaran.” Aku coba menyimak kata-kata Kak Ikbal dengan baik. “Kalau dia diskorsing, aku belum yakin kalau dia akan sembuh seratus persen. Bahkan aku khawatir kebiasaannya akan semakin menjadi-jadi. Makanya kami selaku pengurus berusaha untuk menyadarkan mereka sebelum benar-benar di-DO dari pesantren.”
Bel berdentang pertanda belajar malam sudah dimulai. Aku segera ke aula untuk belajar bersama teman-teman sekelas. Semua santri kulihat tampak berhamburan keluar kamar menuju masjid, aula dan tempat belajar yang lain.
“Selamat belajar, ya.” Ujar Kak Ikbal seraya beranjak dari tempat duduknya. Sebenarnya aku masih betah dan ingin sekali berbincang-bincang bersama Kak Ikbal yang selalu memotivasiku. Menurutku Kak Ikbal lah sosok pengurus yang patut dicontoh. Perangainya yang baik membuat para santri tidak sungkan untuk konsultasi. Ia termasuk pengurus yang disegani, beda dengan pengurus lain yang kebanyakan ditakuti karena sikap dan tampangnya yang sok bijak dan jutek di depan santri.
***
Al-Azhar kembali geger. Tapi kali ini bukan karena ditemukannya puntung rokok seperti kejadian sebelumnya. Tiga orang bulis malam menemukan aku terbaring pingsan di kamar mandi. Aku juga baru sadar saat beberapa orang mengerumuniku di Unit Kesehatan As-Syifa milik pesantren.
Kata Parman, teman dekatku, pipiku lebam dan leher belakangku juga luka akibat pukulan. Semua menanyaiku. Semua menginterogasiku. Tapi aku tidak bisa menjawab apa-apa. Seingatku, sebelum keluar dari kamar mandi tadi malam aku sempat mendengar bisikan-bisikan mencurigakan di luar. Aku hanya berusaha tenang. Sehingga saat aku membuka pintu, sebuah pukulan telak mengenai punggung dan sekujur tubuhku. Tidak sempat kulihat wajah dua orang itu karena mareka menggunakan kain sarung untuk menutupi wajah mereka. Dan waktu itu aku tidak ingat apa-apa.
Semua penghuni Al-Azhar panik. Karena ini kasus langka yang terjadi di pesantren. Kalau kasus perkelahian antara dua orang atau antar beberapa kelompok santri sering terjadi. Tapi kejadian seperti yang menimpaku seingatku baru kali ini.
“Apa mungkin ini ulah Ozy?” Parman tampak curiga. Di antara teman-temanku, hanya dia yang tahu masalahku dengan Ozy. Tapi aku tidak yakin. Aku tahu siapa Ozy. Ia tidak akan melakukan hal ini kepadaku.
“Ah, kupikir nggak mungkin, Man. Ia tidak mungkin melakukan ini.” Aku berusaha menepis kecurigaan yang bercokol di benak Parman. Parman hanya memandangku iba.
“Tapi ini sangat mungkin ada kaitannya dengan apa yang terjadi antara kamu dan Ozy, Fir.” Bisik Parman. Mungkin ia khawatir ada orang yang mendengar pembicaraan kami.
“Entahlah, yang jelas aku tidak punya bukti. Kita tidak bisa menuduh seseorang tanpa ada bukti yang kuat. Karena aku tidak melihat wajah mereka saat kejadian.”
“Tapi kau pasti ingat
“Sudahlah, Man. Aku tidak ingin memperpanjang masalah. Mungkin ini memang nasib naasku. Lain kali aku akan hati-hati.”
Parman mendesah perlahan. Aku tahu ia kecewa dengan apa yang aku sampaikan.
***
Dan waktu pun berlalu. Hari-hari Ozy kian hari kian kelabu. Keangkuhannya dulu kini tak terlihat lagi. Tubuhnya kian menirus. Matanya cekung. Desah nafasnya sangat mengerikan. Mungkin akibat saluran pernafasannya yang mulai terganggu.
Kami sempat tidak percaya mendengar vonis dokter Herman yang menangani Ozy. Ozy mengalami serangan jantung pada stadium lanjut. Dokter Herman memberikan kami rekomendasi agar Ozy dirujuk ke RSUD Pamekasan karena sarana di RSUD Sumenep belum memadai.
Kami pun sepakat membawa Ozy ke RSUD Pamekesan. Namun sekitar seperempat jam perjalanan ke Pamekasan, detak jantung di dada Ozy tidak terlihat lagi. Denyut nadinya tak lagi berfungsi. Nyawanya tidak dapat tertolong lagi.
Innalillahi wainna lillahi raajiun. Serempak dalam mobil kami mengucapkan kalimat istirja’ itu. Tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Kelopak mataku memanas melihat wajah Ozy tak dibalut senyum lagi.
* * *
Sumenep.
*) Untuk adik-adik di PPMU; kenakalan2 kalian adalah hal yang lumrah…Tetep semangat ngejalanin disiplin, ya!
0 komentar:
Posting Komentar