Cari Jodoh

08.17 / Diposting oleh untung wahyudi /

Ba’da shalat jum’at….

Sudah hampir satu jam aku selonjoran di teras masjid Miftahul Amal, salah satu masjid di kampungku. Mataku tak lepas memandangi hamparan padi yang menghijau di pematang-pematang sawah sekitar masjid. Berulangkali aku merusaha menenangkan perasaanku, tapi berkali-kali pula aku gagal. Aku masih ingat kata-kata Emak yang tanpa sadar mampu menohok ulu hatiku, perasaanku.

“Umurmu sudah dua lima, Man. Kapan kau akan mengakhiri masa lajangmu? Apa kau menunggu sampai Emak sangat tua, begitu? Lalu kapan kau akan membawakan Emak seorang menantu yang kelak akan memberikan Emak seorang cucu?”

Aku hanya mampu diam menunduk mendengar kata-kata Emak. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku untuk menanggapi ucapan Emak. Aku sadar, umurku sudah cukup untuk mengakhiri masa lajangku. Untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang juga sunnah Rasul itu. Tapi entah kenapa aku merasa belum siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang menurutku sangat berat itu.

“Mak, Parman pikir tuanya usia belum tentu menjamin kesiapan seseorang untuk menikah. Emak tahu sendiri kan sepupu-sepupu Parman yang sudah lebih tua dari Parman belum pada menikah. Parman yakin mereka belum siap lahir batin, Mak. Parman juga belum siap.” Aku mencoba membela diri. Walau jauh di dasar hatiku membenarkan perkataan Emak. Aku paham perasaan Emak. Sudah hampir sepuluh tahun Emak hidup sendirian semenjak Bapak meninggal. Beliau pasti butuh teman untuk membantu kesibukan di rumah. Atau Emak khawatir kalau aku lama membujang?

“Ingat, Man. Hidup sendirian dalam keadaan membujang itu banyak godaan. Kamu tahu sendiri kan apa yang terjadi pada Badrun, tetangga sebelah itu. Ia ‘diciduk’ aparat desa karena ketahuan bertamu sampai larut malam di rumah Lastri yang lama menjanda itu. Demi keamanan dan ketertiban kampung, akhirnya Badrun ‘dipaksa’ menikah dengan Lastri.” Ujar Emak seolah-olah tahu jalan pikiranku.

“Kok jadi ngerasanin orang sih, Mak?”

“Itu contoh. Agar dibuat pelajaran bagi pemuda-pemuda di kampung ini. Emak khawatir kamu nggak kuat iman.” Jawab Emak.

Naudzubillah, Mak. Sepuluh turunan semoga nggak menimpa anggota keluarga kita. Malu, Mak….”

“Nah, makanya buruan sono cari calon tunangan.” Ujar Emak sembari tersenyum. Aku ikut-ikutan tersenyum. Ah, Emak. Doakan Parman, Mak. Moga-moga Parman cepet-cepet dapet jodoh.

09 Januari 2005

Menikah. Kata itu yang kini melekat dalam benakku. Di rumah, ladang, masjid dan semua tempat yang sering aku singgahi kata itu selalu membuntutiku. Aku tahu, menikah adalah hal yang mutlak bagi semua manusia. Tak ada seorang pun di dunia ini yang akan betah hidup sendirian. Tapi aku? Ah, aku semakin pusing saja mengingat masalah ini. Aku sadar kalau aku juga ingin seperti semua orang pada umumnya. Menikah dan punya anak. Alangkah bahagianya seseorang yang sudah melaksanakan separuh dien-nya itu. Juga betapa damainya saat bercengkrama bersama seorang istri dan anak-anak yang menambah suasana kebahagiaan keluarga.

“Terus apa yang masih kamu tunggu, Man?” tanya Ipul, salah seorang temanku yang kini sudah punya momongan. Ipul memang salah seorang temanku yang menikah muda. Dulu saat ia memutuskan untuk menikah aku sempat tidak percaya. Umurnya waktu itu masih dua puluh tahun. Sama denganku. Aku sempat berpikir, apakah Ipul yang masih muda itu siap hidup berumah tangga?

“Aku hanya merasa kalau aku belum siap, Pul. Aku masih belum kuat mental untuk urusan ini. Tapi aku akan berusaha supaya cepat dapat pasangan.”

“Nah, gitu, Man. Jangan hanya berpangku tangan dan mengharap ada bidadari kesasar yang tiba-tiba menghampiri kamu. Doa dan usaha gitu. Kalau masalah siap nggak siap, kita pasti selalu bilang nggak siap. Tapi sampai kapan?” Ujar Ipul. Aku hanya mengangguk-angguk. Membenarkan apa yang disampaikan Ipul.

“Kamu benar, Pul. Selama ini aku selalu minder dan takut kalau aku nggak bisa nyenengin istri. Gimana mau seneng kalau masih belum punya pekerjaan tetap.” Ujarku mencoba mengutarakan apa yang selalu mengganjal dalam hatiku.

“Eh, Man. Ternyata kamu masih ragu toh dengan rejeki Gusti Allah? Sadar, Man kalau rejeki Allah itu Mahaluas. Kita harus yakin itu. Sekarang kita jangan berpikir untuk dapat pekerjaan tetap. Yang penting bagaimana supaya kita tetap bekerja….” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Apa yang disampaikan temanku itu benar. Ternyata keraguan dan kegamangan hati itu lah yang menyebabkan aku seperti ini. Yang selalu membuat aku ‘takut jatuh cinta’ dan takut manikah.

15 Januari 2005

Semakin hari perasaanku semakin tidak tenang saja. Kekhawatiran Emak selalu menghantui perasaanku. Kalau kupikir dan kurenungkan, kekhawatiran Emak sangat benar. Bahkan fenomena sosial tentang perempuan hamil di luar nikah dan laki-laki yang lari dari tanggung jawab sudah bukan hal yang tabu lagi. Kupikir fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia selebritis yang penuh glamour dan pergaulannya yang sangat bebas. Di desa-desa yang jauh dari hiru-pikuk metropolitan ternyata juga terjadi hal serupa. Lalu apa yang akan terjadi kalau fenomena ini membudaya dan mengakar di masyarakat dan diikuti oleh generasi mendatang?

Dan yang paling memperihatinkan, baru-baru ini di televisi ada seorang artis yang sampai anak di kandungannya lahir belum juga ada seorang laki-laki yang mau mengakuinya sebagai anak. Si artis pun memilih tutup mulut dan tidak mau menyebutkan siapa sebenarnya yang berhak menjadi ayah dari buah hatinya itu.

Aku jadi semakin takut dan khawatir. Karena kadar keimananku tidak setebal iman para Abid yang selalu meningkatkan keimanannya. Aku takut suatu saat kalah dengan godaan setan yang setiap saat selalu mengintai dan mencari celah kelengahanku. Allah, lindungi hamba dari godaan setan yang terkutuk…

20 Januari 2005

Tadi malam habis maghrib aku nyabis ke kediaman ustadz Marzuki, guru ngajiku dulu waktu kecil. Lama aku nggak sowan dengan beliau. Rasanya aku sudah kangen dengan suasana surau yang dulu menjadi tempat belajarku, menghapal juz Amma dan bersenda gurau dengan teman-teman selepas pengajian. Tanpa aku sadar beliau pun menyinggung tentang pernikahan. Beliau juga bercerita tentang pernikahan Habib, putranya yang baru menikah sebelum Ramadhan kemarin.

“Sepertinya Habib baru bertunangan, Ustadz?” ucapku saat beliau cerita perihal pernikahan putra beliau.

“Itu benar, Man. Sebelumnya memang belum ada rencana untuk menikahkan Habib. Dan saya yakin Habib masih belum yakin dengan apa yang sedang dihadapinya sekarang.”

“Memangnya kenapa, Ustadz?” tanyaku penasaran.

“Sebenarnya begini. Sebulan sebelum Ramadhan Habib ke rumah mertuanya. Katanya sudah cukup lama nggak ke sana. Sore hari saat saya datang dari pasar, Habib datang bersama seseorang yang diboncengnya. Dan saya belum percaya kalau ternyata ia datang dengan tunangannya. Saya marah besar waktu itu. Walau bagaimana pun pertunangan itu belum bisa melegalkan siapapun untuk diam berdua, jalan berdua apalagi sampai boncengan seperti itu. Saya coba peringatkan ia supaya nggak mengulanginya lagi. Tapi ia tidak menggubris. Daripada tersebar fitnah macam-macam terhadap anak saya, akhirnya saya menikahkannya supaya lebih sah dan apa yang dilakukannya menjadi halal.” Ustadz Marzuki cerita panjang lebar. Aku baru paham, ternyata walaupun resmi menjadi sepasang tunangan itu masih belum bisa boncengan.

Tapi yang terjadi di kampungku? Ah, sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa sepasang tunangan saling berkunjung dan boncengan saat hari raya. Bahkan di kampungku ini ada orang tua yang memarahi anaknya kalau nggak mau diajak tunangannya jalan-jalan atau berkunjung ke kerabat dekat. Semoga saja para orang tua sadar kalau apa yang dilakukan anak-anaknya yang sudah bertunangan itu salah dan melanggar aturan syariah agama Islam. Kalau itu sudah menjadi budaya, lalu apa bedanya antara pertunangan dengan pacaran?

20 Januari 2005

Sore ini Ipul menemuiku di ladang saat ia datang dari pasar. Ladang tempatku bercocok tanam memang dekat dengan jalan setapak yang berhubungan dengan jalan utama desa. Aku jadi bertanya-tanya, mau apa dia menemuiku di ladang ini?

“Gimana, Man? Sudah sukses belum?”

Ah, itu lagi, itu lagi. Apa nggak ada topik lain?

“Kok diem, Man?’

“Eh, iya, be… belum ada.” Aku nyengir seraya membersihkan cangkul yang penuh tanah dengan sebilah kayu.

Diam sesaat, lalu Ipul berkata lagi.

“Gini, Man. Minggu kemarin aku ketemu Khadijah, anak tetangga sebelah itu. Itu lho anaknya Pak Ibrohim yang punya somil kayu dekat pasar. Wah, kayaknya dia cocok jadi calon pendampingmu, Man.”

“Eh, jangan ngaco kamu, Pul. Anaknya Pak Ibrohim yang kuliah di WIRARAJA itu? Mana mau sama aku yang hanya lulusan SMA ini. Aku kan nggak punya titel, Pul?”

“Parman…. Parman. Kamu dikasih jalan terang kok bukan bersyukur. Coba dong ajak dia berkomunikasi. Siapa tahu dia juga nyimpan perasaan sama kamu.”

“Kalau dia sudah punya pacar?”

“Aduh, belum apa-apa sudah keok duluan. Kamu itu laki-laki. Harus berani dan siap kalau ternyata dia sudah punya calon pasangan.”

Aku diam. Apa kata Ipul benar juga. Jodoh itu harus dijemput, bukan ditunggu.

Akhir Januari 2005

Atas saran Ipul, akhirnya kemarin aku menemui Khadijah di rumahnya. Pak Ibrohim juga bincang-bincang denganku, walau hanya sebentar.

Aku sempat gugup, ternyata Khadijah juga pendiem. Orangnya jarang ngomong. Dan ternyata dia belum punya calon. Walau sebenarnya sudah cukup banyak orang yang datang menemui Pak Ibrohim untuk melamar Khadijah. Tapi katanya, Pak Ibrohim selalu menolak dengan alasan kalau Mbaknya Khadijah yang kuliah di Surabaya belum ada yang melamar. Ternyata Pak Ibrohim masih percaya mitos kalau anak bungsunya menikah terlebih dulu, anak sulungnya bakal lama untuk mendapatkan jodoh. Ah, kata Ustadz Marzuki dulu saat aku ikut pengajian, mitos itu sama sekali tidak benar dan tidak ada dalam aturan agama. Kata beliau, menyitir sebuah hadist Rasul, bagi seorang pemuda yang sudah siap menikah, maka dianjurkan untuk segera menikah. Karena menikah dapat menjaga pandangan dan lebih menjaga kehormatan.

07 Pebruari 2005

Tadi malam, Paman Usman ke rumah orang tua Khadijah. Atas dasar restu Emak, akhirnya paman Usman mau meminta Khadijah sebagai calon tunanganku. Semula paman juga khawatir kalau Pak Ibrohim akan menolak seperti yang terjadi pada orang yang pernah datang dan mau melamar Khadijah. Tapi ternyata….

“Man, kayaknya kamu harus bersabar….”

Deg!! Jantungku tiba-tiba saja berdetak tak beraturan mendengar perkataan paman. Tanpa harus meneruskan pembicaraannya aku sudah bisa menebak kalau aku ditolak. Aku hanya diam. Berusaha menenangkan perasaan.

“Pak Ibrohim memberi paman waktu supaya menunggu sampai ada kabar dari Marni, kakak Khadijah. Kalau dalam waktu sebulan tidak ada kabar, maka paman dan Pak Ibrohim kembali akan membahas masalah kamu ini….”

Aku tersentak kaget. Seolah-olah belum percaya dengan apa yang dikatakan paman.

Jadi….? Aku masih punya harapan? Tapi bagaimana kalau Marni juga percaya mitos itu…?

* * *

Sumenep, Pebruari 2005

0 komentar:

Posting Komentar