Kalau seandainya di dunia ini ada pengadilan cinta, mungkin akulah orang pertama yang akan diseret ke dalamnya. Karena akulah penjahat cinta. Yang telah menghancurkan cinta sepasang cinta. Yang telah meluluhlantakkan hati wanita karena pasangan hidupnya mengingkari cintanya. Akulah penjahat paling kejam di dunia. Entah berapa pasang suami-istri yang telah kuhancurkan. Juga berapa janin yang kubunuh karena aku tak sanggup melahirkannya ke dunia. Menjadikannya seorang anak yang mungkin akan berbakti kepada orang tua. Karena memang untuk apa aku melahirkannya kalau tak ada seorang pun yang akan mengakuinya sebagai seorang anak? Kalau tak ada seorang lelaki pun yang bersedia menjadi seorang ayah?
Ya, aku telah menghancurkan kehidupan mereka, kebahagiaan mereka, keharmonisan mereka yang diharapkan oleh semua manusia di dunia. Tapi aku punya alasan mengapa melakukannya. Mengapa aku menjual cinta, bahkan menjajanya saat tak ada yang bersedia membelinya. Sekali lagi aku punya alasan.
Tapi kalau pengadilan cinta itu benar-benar ada, orang kedua –setelah aku- yang akan kuseret dan kugugat adalah “dia”. Seorang makhluk bernama “lelaki” yang telah menyebabkan hidupku seperti ini. Yang telah mengantarkanku ke lembah hitam penuh dosa ini. Ya, aku akan menggugat dan menyeretnya karena dialah orang pertama yang mengenalkan aku dengan aborsi, yang telah “menobatkan” aku sebagai; penjaja cinta!
* * *
Malam gelap. Hanya ada beberapa pendar cahaya yang berpendar di sekitar. Sepi. Malam makin pekat dan larut dalam sunyi yang kian mencekam, ketika seluruh penghuni komplek terlelap dalam mimpi indah mereka masing-masing. Rasa takut dan gelisah berbaur menjadi satu. Menciptakan suasana seram yang mencekam. Kelam. Hitam.
Entah ini malam apa. Aku tak peduli. Karena aku tak pernah menghitung malam, juga hari sebagaimana aku tak pernah menghitung hasil jerih payahku. Aku tak pernah tahu berapa lembar uang yang kuhasilkan setiap malam. Karena tugasku hanya bekerja. Melayani para tamu hidung belang yang rela menghamburkan lembaran ratusan ribu demi seteguk kenikmatan.
“Kau belum bersiap-siap, Mar?” sebuah suara mengagetkanku. Membuyarkan segumpal lamunan yang aku ciptakan.
“Kepalaku pusing malam ini. Aku demam. Aku tidak bisa beroperasi malam ini.” Jawabku sekenanya.
“Apa katamu…? Pusing? Ah, jangan macam-macam, Mar. Kalau ketahuan kau pasti akan dimarahi, dijambak, bahkan bakal dihajar olehnya. Kau mau nasibmu seperti Lastri seminggu yang lalu?”
Aku tersentak. Wajahku mendadak pucat. Rasa takut berkelebat. Kalau ingat kejadian malam itu aku ngeri. Tubuh Lastri babak belur. Bibirnya berdarah. Pipinya lebam akibat tamparan yang sangat keras. Punggungnya nyaris hancur. Hanya kerana satu alasan; ingin berhenti dari pekerjaannya. Mungkin ia bosan atau memang tidak menyukai pekerjaannya. Ia ingin pulang. Ia tidak betah diperlakukan seperti binatang. Semenjak kedatangannya sebulan yang lalu, kulihat ia memang sering murung. Menyendiri dan matanya selalu sembab. Melamun. Mungkin ingat orang tuanya di kampung.
“Mbak, aku tidak mau bekerja seperti ini. Aku ingin bekerja yang halal. Kedatanganku ke
“Gimana, kau mau nasibmu seperti Lastri?” suara salah seorang rekanku itu kembali mengagetkanku. Aku hanya diam. Membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku.
“Ya, sudah. Kalau kau benar-benar tidak sehat, biar aku bilang kalau kau memang sedang sakit. Tapi besok malam kau harus sudah sembuh. Aku berangkat dulu….” Ucapnya lagi seraya berlalu dari hadapanku. Lagi-lagi aku hanya diam. Entah, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang menyenyak-nyentak perasaanku. Tuhan, maafkan aku. Bisikku lirih. Selirih desah risau angin malam yang menyapu rambut dan menggigit-gigit tulang-belulangku.
* * *
Ramadhan tiba. Banyak orang bahagia saat bulan penuh berkah itu datang. Tapi tidak denganku. Bahkan aku selalu berharap bulan ini tidak ada dalam daftar tahun Hijriyah. Karena kalau bulan ini datang menjelang, maka aku akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Kemana aku harus mencari uang kalau tempat ini ditutup? Atau kemana kami harus berteduh kalau bangunan ini dihancurkan karena ketahuan masih buka di bulan Ramadhan?
Aku tidak bisa membayangkan kalau tempat ini benar-benar dihancurkan oleh orang-orang yang “sok suci” itu. Dengan dalih penertiban, menghormati bulan Ramadhan, mereka dengan paksa akan menutup tempat-tempat hiburan, diskotek, pub, bar juga bangunan yang menampung puluhan wanita tuna susila ini.
* * *
Perasaan takut tiba-tiba menyelimuti perasaanku. Seolah-olah sebuah firasat tidak baik menyapaku. Entah apa yang akan terjadi. Padahal aku belum pernah merasa khawatir dan takut seperti malam ini.
Seperti biasa malam ini tampak sepi, ketika suara-suara gaduh memenuhi luar bangunan yang aku tempati. Kucoba mengintip dari balik jendela.
Aku mengkeret ke sudut kamar. Bersembunyi bersama rasa takut yang menyelimut ketika suara pecahan kaca tiba-tiba menukik pendengaranku. Orang-orang itu melemparkan batu. Mereka merangsek, mendekat ke arah bangunan yang tampak gelap ini. Entah kenapa, seluruh penerang rumah ini padam seketika.
“Ayo keluar…!! Kalau tidak, akan kami bakar tempat ini.” Suara mereka memecah malam. Aku menepi ke sudut kamar. Entah kemana teman-temanku. Mereka tidak ada di tempat ini. Apa mereka sudah lari dari pintu belakang?
Aku coba untuk bangkit. Bersembunyi di balik jendela yang kacanya sudah berantakan saat sebuah benda keras tiba-tiba melesat dan menghantam batok kepalaku. Rasa pusing kurasakan bersama rembesan darah yang mulai mengalir, membasahi pipi, baju dan sekujur tubuhku. Semua tiba-tiba berubah menjadi gelap.
***
Sumenep, 28 Januari 2005
0 komentar:
Posting Komentar