Kiamat sudah dekat
Jangan perbanyak maksiat!
Sebelum terlambat,
Segeralah untuk bertobat!
Salam,
“Panitia Hari Kiamat”
“Gila! Sinting! Miring! Emang dia siapa? Asisten Tuhan? Berani-beraninya mengatakan kalau kiamat sudah dekat. Benar-benar edan!” Mince mencak-mencak. Rasa kesal dalam hatinya kian menggelegak. Betapa tidak, hampir di setiap tempat yang ia singgahi tulisan dengan nada “ancaman” itu selalu ia temui. Kemarin malam, saat ia dengan cukup bosan menunggu “mangsa” di tempat mangkalnya, tulisan itu dengan jelas terpampang di sebuah reklame di sudut taman bunga. Kemarin sore, saat ia membesuk salah seorang rekannya di UGD, “
“Benar-benar nggak ada kerjaan!” Umpatnya seraya meraih “selebaran gelap” di depannya. Diseretnya langkahnya ke sebuah kamar di samping kamar kontrakannya.
“Tadi kamu lihat ada orang yang naruh kertas ini, Yan?” tanyanya sembari memperlihatkan secarik kertas ke depan mata salah seorang temannya.
“Nggak. Emang kertas apaan? Kertas undangan?” Tanya waria berdandan cukup menor itu. Diraihnya selembar kertas yang masih ada di tangan Mince itu. Kontan kedua matanya membulat setelah tahu isi tulisan yang dipegangnya.
“Hii… Panitia Hari Kiamat? Emang hari kiamat itu ada panitianya juga, ya?” waria bernama Yanti itu melepas kertas di tangannya.
Mince dan temannya itu masih diliputi rasa heran. Antara percaya dan tidak. Tidak mungkin kertas itu tiba-tiba ada di kamar Mince kalau tidak ada yang meletakkannya. Tapi siapa yang berani dan lancang masuk ke kamarnya? Padahal, walau pintu kamarnya jarang dikunci selama ini jarang ada temannya yang sembarang masuk kalau tanpa seizinnya. Jangan-jangan… itu adalah peringatan buat mereka yang selama ini menjalani kehidupan yang menyimpang itu? Mereka berdua berusaha menepis perasaan-perasaan aneh yang tiba-tiba menjejali pikiran mereka. Demi uang! Ya, mereka melakukan semua itu demi selembar uang!
* * *
Menjadi waria memang bukan pilihan Mince. Ia tidak pernah punya niat menjadi seorang banci seperti sekarang. Sejak kecil ia hanya bercita-cita menjadi seorang penari balet. Cita-cita itu muncul setelah ia sadar kalau postur tubuhnya kurus dan agak sedikit lentur. Tidak seperti tubuh laki-laki kebanyakan. Tubuhnya cukup cocok untuk menjadi seorang instruktur senam atau koreografer.
Tapi garis nasibnya berubah arah. Suatu ketika ia ditakdirkan bekerja di sebuah salon ternama di
* * *
Mince tidak lagi terganggu oleh tulisan-tulisan usil orang yang tidak bertanggung jawab itu. Tulisan orang yang mengaku dirinya sebagai Panitia Hari Kiamat itu. Emang tujuh belas Agustus-an, pake panitia-panitia segala, gumam Mince kesal.
Tapi sekarang muncul polemik baru. Masalah baru yang mencoba “mengobok-obok” profesinya dan juga profesi teman-temannya. Mereka dilarang beroperasi selama bulan Ramadhan! Mince bingung dan juga kesal. Apa bedanya dengan bulan-bulan yang lain? Tanyanya dalam hati. Ia semakin tidak mengerti karena tempat-tempat hiburan yang selama ini menjadi tempat mangkalnya juga tutup selama bulan puasa.
Dan praktis, ia dan teman-temannya kehilangan penghasilan. Sejak awal Ramadhan seminggu yang lalu, ia dan teman-temannya tidak lagi beroperasi. Mereka takut terjaring razia dan digiring ke kantor polisi. Mereka malu. Apalagi kalau sampai ada wartawan iseng jeprat-jepret kamera dan memajang gambar mereka di halaman-halaman depan
Mince cukup stress. Rasa bosan kini mulai mengepung kesendiriannya. Ia tidak betah berdiam diri di kamar kontrakannya sepanjang hari dan malam. Apalagi jatah uang makannya yang ia dapatkan sebelum Ramadhan sudah mulai berkurang. Isi dompetnya mulai menipis.
Aku harus cari akal! Walau bagaimanapun aku harus tetap dapat uang! Bisiknya dalam hati. Rasa gundah dalam hatinya kian merejam-rejam.
Seulas senyum tersungging di bibir tipisnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ini waktunya untuk beroperasi. Ia yakin kalau polisi tidak akan keliaran pada jam-jam segini. Ditambah lagi selama seminggu ini ia dan teman-temannya tidak beroperasi. Ia yakin kalau “langganan” mereka sudah menunggu kehadirannya, juga teman-temannya.
Sudah hampir setengah jam ia keliling taman bunga, namun tak jua menemukan orang yang biasa “memboking”-nya. Ketika tanpa ia duga ada seorang pemuda dengan ransel di pundaknya menghampirinya. Mince bahagia. Akhirnya ada juga yang mendatangiku, pikirnya seraya menyunggingkan sedikit senyum.
“Maaf, mengganggu sebentar.” Seru pemuda itu seraya duduk di samping Mince. Mince menggeser duduknya, memberikan tempat kepada pemuda itu.
“Iya, ada apa, ya?” respon Mince.
“Maaf, saya dari sebuah
“Maaf, saya tidak bisa meladeni saudara. Kami tidak mau kehidupan kami diganggu.” Mince cukup terkejut. Pupus sudah harapannya.
“Saya akan menjamin rahasia dan identitas anda. Lagian saya tidak akan mengambil gambar anda. Yang penting anda memberikan sedikit keterangan mengenai dunia anda, kehidupan teman-teman anda.”
Mince berniat beranjak dari tempatnya. Namun melihat raut muka pemuda di depannya ia tidak tega. Ia yakin, wartawan di depannya juga sama seperti dirinya. Sama-sama mencari uang. Seandainya ia tidak mendapatkan berita yang mungkin cukup fenomenal dan kontroversial itu, mungkin pemuda itu tidak akan mendapat bayaran.
Wartawan di depannya itu memulai wawancaranya. Mince dengan lancar menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkannya. Pemuda itu mulai mencatat hal-hal penting yang akan menjadi head line harian tempatnya bekerja. Ia berharap kehidupan mereka juga dihargai dan diperhatikan. Karena walau bagaimana pun setiap manusia mempunyai garis nasib yang berbeda.
Pemuda berkaca mata minus itu menutup wawancaranya.
“Sekali lagi terima kasih….” Pemuda itu bangkit seraya memberikan selembar
Lama Mince bengong. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah pukul dua belas. Ia harus pulang, karena ia rasa uang dari wartawan itu sudah cukup untuk makannya minimal sampai beberapa hari ini. Kalaupun tidak cukup siapa tahu ada wartawan baik hati yang mencoba mewawancarainya lagi.
Suasana sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih duduk-duduk di pinggir taman. Mince hendak meninggalkan tempat nongkrongnya saat didengarnya suara raungan motor aparat yang biasa keliling di tempat itu. Mince berusaha sembunyi di balik rerimbunan bunga yang ia rasa cukup aman untuk keselamatannya. Ketika sebuah suara mengagetkannya.
“Mau lari kemana? Sudah dibilang dilarang keliaran selama bulan Ramadhan masih tetap membandel!” Suara itu cukup membuat jantung Mince copot. Mince tidak bisa berkutik. Ia pasrah saja ketika kedua tangannya diringkus aparat yang memergokinya.
* * *
Mince merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam ruang batinnya. Wajahnya tiba-tiba pucat ketika di tembok tahanan yang ditempatinya terpampang tulisan seperti yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu.
Kiamat sudah dekat
Jangan perbanyak maksiat!
Sebelum terlambat,
Segeralah untuk bertobat!
Pikirannya berkecamuk. Andai saja tadi aku tidak nekad, mungkin aku tidak akan berada dalam kungkungan jeruji besi ini. Bisik hati Mince. Tapi semuanya sudah terjadi. Sebesar apapun penyesalannya, itu tidak akan membuat dirinya lepas dari tempat ini. Kecuali ada orang berbaik hati yang berusaha mengeluarkannya.
Tatapan mata Mince kosong. Pandangannya tajam menukik pekat malam yang semakin kelam. Pelan matanya mulai terpejam. Ia tak kuasa menahan kantuk yang sedari tadi menyerang pelupuk matanya.
Setelah beberapa jam tertidur pulas, ia terbangun dan terperanjat saat sayup-sayup suara adzan dari seberang terdengar. Bulu kuduknya tiba-tiba saja merinding mendengar panggilan adzan itu.
“Tuhan, apa maksud semua ini? Selama ini aku tidak pernah merasakan kegelisahan seperti ini. Apa maksud dari tulisan-tulisan yang pernah aku temui? Mungkinkah ini jalan untuk menuju cahaya-Mu? Jika benar, bimbing aku ‘tuk meraih percik hidayah-Mu. Memetik sebuah asa yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpiku. Salam untuk para “asisten”-Mu, Panitia Hari Kiamat itu….”
* * *
PPMU Jambu, 26 Ramadhan 1426 H.
0 komentar:
Posting Komentar