Kebisuan yang terjelma
Menumbangkan asa dan cinta
Dalam gairah prasangka
Seakan hadir tak bermakna
Mengerti pun aku diam
Dalam galau kesendirianku *
Minggu, 01 Januari 2006
Kubuka lembaran ini dengan lelehan air mata, Za. Air mata kesedihan yang kian menyesaki rongga dada. Dan entah kapan kawah air mata ini akan mongering. Atau kau sengaja akan membiarkan luka hati ini kian menganga, tanpa ada setitik niat pun untuk membalutnya?
Sudah seminggu ini kau berubah, Za. Kulihat kau bukan Zahra yang dulu. Zahra yang selalu terbuka dengan masalah yang mendera. Zahra yang selalu ceria, lincah, komunikatif sehingga hampir semua santriwati mengagumi, termasuk aku.
Jangankan ngobrol bersama, sekarang bahkan kau lebih memilih berangkat sendiri setiap hendak mengikuti kegiatan demi kegiatan pesantren. Padahal dulu kemana-mana kita selalu bersama. Ke kursus menjahit, pramuka, latihan pidato dan hampir di setiap kegiatan pesantren kita berangkat bersama. Melalui hari-hari indah di pesantren walau katamu kadang membosankan, menjemukan dan tak jarang membuat sebagian santriwati tidak betah dan memilih stop study. Tapi kita tidak, Za. Kita tetap enjoy menjalani disiplin. Sesuai prinsip kita; enjoy this life.
Kamis, 05 Januari 2006
Kemarin sore aku sengaja mengirimimu
21 Januari 2006
Aku tidak pernah menyangka kalau persahabatan yang selama ini kita jalin akan berakhir dengan sad ending, Za. Akhir yang tak pernah kita harapkan sebelumnya.
Terus terang aku takut kehilanganmu, Za. Takut kehilangan persahabatan yang dengan susah payah kita bina bersama.
Kau mungkin tidak tahu betapa berantakannya hati dan perasaanku saat ini. Apalagi jika melihat perubahan sikapmu. Sungguh kau jauh berubah. Kau seolah-olah sangat membenci keberadaanku. Itu tampak sekali dari sikap cuek dan sikap "dingin" yang kautampakkan. Kau sudah tidak mau merespon surat-surat yang kukirim padamu. Padahal aku yakin, kautahu kalau surat-suratku itu membutuhkan jawaban jujurmu. Jawaban yang kuharapkan mampu mengobati dan menebus semua kecurigaanku tentangmu.
Aku tidak tahu sampai kapan hubungan ini akan membaik kembali seperti dulu lagi. Aku ingin hubungan persahabatan kita kembali harmonis, Za. Tanpa ada jarak yang hanya membuat kita saling sungkan walau hanya untuk sekadar bertegur sapa. Jarak antara kita semakin jauh. Dan kian jauh….
Sungguh selama ini aku merasa tersisihkan. Terutama oleh sikapmu yang berubah drastis itu. Kau tidak pernah sudi lagi menampakkan senyum dan keceriaan di depanku. Kau selalu menghindar setiap aku berusaha di dekatmu. Padahal aku hanya ingin satu; persahabatan kita kembali seperti dulu. Hanya itu!
Selasa, 24 Januari 2006
"Cerpenmu bagus, Nur. Aku hampir nangis lho membacanya." komentarmu saat membaca Gerhana Cinta, salah satu cerpenku yang dimuat bulletin pesantren edisi khusus dulu. Jangankan kau, Za. Aku sendiri meneteskan air mata saat menulisnya. Saat mengisahkan dilema hati Aisyah dalam cerpen tersebut. Aku tahu itu hanya fiktif. Hanya hasil imajinasiku. Tapi aku yakin kisah itu juga ada di kehidupan nyata. Karena hampir semua cerita yang kutulis tidak pernah lepas dari realitas kehidupan sehari-hari yang aku temui, aku alami.
"Tapi sayang kurang nyastra." tambahmu mengkritisi bahasa yang kugunakan. Kuakui aku memang tidak bisa merangkai kata-kata indah apalagi sastra seperti yang kauharapkan. Aku masih harus banyak belajar dari penulis-penulis senior yang sudah diakui di belantara kesusastraan Indonesia. Makanya aku banyak mengoleksi buku-buku karya Helvy Tiana Rosa, Supernova-nya Mbak Dee dan aku baru saja membeli novel Asma Nadia, "Jo dan Kas; 101 Dating" yang dulu pernah dimuat bersambung di majalah Muslimah. Aku masih ingat saat kita saling rebutan untuk membaca kelanjutan "kisah cinta" Jo dan Kas yang "unik" itu.
Ah… andai saja kautahu aku telah memiliki bukunya pasti kau lah yang pertama kali akan merampas buku itu dari tanganku. Tapi…
Sabtu, 28 Januari 2006
Aku pasrah saja, Za, saat dokter Herman memvonis aku terserang thypus. Aku disarankan untuk opname selama beberapa hari untuk pemulihan karena kondisiku memang payah. Badanku panas. Demamku tinggi.
Dan teman-teman membesukku, Za. Bahkan teman sekelas kita, Hana, Nanik dan Rida tadi malam menginap di sini, di ruang yang serba putih dan sesak dengan bau obat ini. Dan aku kecewa saat kutahu kau tidak ada di antara mereka. Padahal aku berharap kau juga menjengukku seperti teman-teman yang lain. Tapi kau tidak ada. Kau benar-benar tak pernah mengerti perasaanku, Za. Aku sempat menangis dalam diam dan membatin, sebesar apa kesalahanku hingga kau benar-benar membenciku?
30 Januari 2006
Alhamdulillah sejak kemarin keadaanku mulai membaik, Za. Aku hanya dirawat selama dua hari di RSUD Moh. Anwar. Dan kini aku kembali menjalani rutinitasku di pesantren. Walau kata Kak Ika, Bagian Kesehatan pesantren, aku harus banyak istirahat. Aku diminta untuk tidak terlalu banyak pikiran.
Ba'da Shubuh, 01 Pebruari 2006
"Itu gejala posesive. Perasaan itu bisa kauhilangkan demi kesucian jiwamu. Kau harus bisa menjadi tuan bagi pikiran dan perasaanmu." kata Ustadzah Sarah saat kusampaikan masalah yang terjadi antara kita, Za. Maafkan aku, Ukhti. Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini kepada siapa-siapa. Tapi aku tidak kuat, Za. Aku sungguh tertekan dengan sikapmu yang misterius itu.
"Posesive?" aku sempat terkejut mendengar kata-kata Ustadzah pengajar Ilmu Psikologi yang lemah lembut itu, Za. Rasa memiliki? Simpati berlebihan? Benarkah…??
"Coba kaurenungi ayat ini; 'Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Kecuali orang-orang yang bertakwa.' (Az-Zukhruf;67)"
Terus terang, lama aku terpekur, Za. Merenungi ayat al-Qur'an yang seolah-olah "menyentil" masalah persahabatan kita. Apakah ini pertanda kalau persahabatan kita benar-benar akan berakhir?
Hatiku bergetar, Za. Aku tidak mengharapkan itu terjadi. Aku tidak mau persahabatan kita hancur gara-gara hal yang tidak jelas seperti ini. Toh, walau pun itu benar-benar terjadi, insya Allah aku ikhlas. Asalkan kaujelaskan masalah yang sebenarnya. Sesuatu yang telah merenggangkan jarak antara kita.
06 Maret 2006
Sebulan berlalu. Aku sama sekali tidak mengisi diary ini dengan masalah yang menimpa kita, Za. Masalah yang aku sendiri tidak tahu apa sebab-musababnya. Selama sebulan ini aku berhasil mempraktikkan "terapi" yang dianjurkan Ustadzah Sarah sebulan yang lalu. Terapi yang kuharap mampu melupakan masalah yang cukup menyiksa hatiku.
Dan di ulang tahunmu yang ke-18 ini, aku menyiapkan sebuah "kado istimewa" yang akan kupersembahkan untukmu. Aku sudah minta bantuan Hana untuk menyerahkan padamu nanti ba'da Dzuhur. Namun belum sempat kuberikan kado itu, Hana menyerahkan sepucuk surat padaku.
"Untuk kamu, dari Zahra!" katanya sembari menyerahkan sepucuk surat itu ke tanganku. Lama aku termangu. Ragu untuk mengambil suratmu.
"Untuk apa? kalau hanya untuk menambah sakit hati ini, aku rasa tidak perlu. Semuanya sudah terlambat!" kataku ketus. Hana terheran-heran dengan sikapku.
"Lantas untuk apa kado ini aku berikan padanya?" Tanya Hana sambil menimang-nimang kado ulang tahun yang sudah kubungkus rapi.
"Bilang saja itu persembahan terakhir dari persahabatanku dengannya." kata-kataku makin ketus. Walau kuakui aku tidak kuat membendung gemuruh dalam hati. Gelombang perasaan yang jauh lebih dahsyat dari gelombang Tsunami.
"Tapi dia ingin kamu membacanya. Di surat ini dia menjelaskan masalah yang sebenarnya antara kalian berdua."
"Setelah lebih dari dua bulan, setelah hati ini nyaris berkeping-keping, dia akan menjelaskannya? Setelah aku berusaha menghapus semua memori kebersamaan dan keakraban yang pernah ada?"
"Tolong, Nur. Aku yakin Zahra melakukannya bukan tanpa sebab. Dia tidak mungkin melakukan semua ini kalau tidak ada masalah "vital" yang belum kauketahui. Dan sekarang cobalah baca surat itu!"
Lama aku terdiam, Za. Aku sadar, aku begitu egois. Ya, semua itu aku lakukan karena aku tidak tahan dengan sikapmu yang telah menampar-nampar kekerdilan hatiku. Terus terang aku masih membutuhkanmu, Za. Butuh dukungan darimu.
Dan akhirnya hatiku kembali melunak. Kusobek ujung amplop ungu itu dan perlahan membacanya dengan gejolak perasaan yang berdentam-dentam.
To: Ukhti Fillah Nurul Faizah
Assalamu'alaikum…
Maafku untukmu, Za. Semoga Allah masih sudi menaburkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita.
Entah darimana aku harus memulai surat ini, Nur. Karena aku tahu kekecewaanmu selama ini melebihi besarnya gunung. Melebihi banyaknya buih di lautan sana.
Aku bukan tidak membaca surat-suratmu, Nur. Bahkan setiap surat yang kaukirimkan, aku sudah menulis jawabannya. Namun aku tidak kuasa menyerahkannya padamu. Aku takut kau kecewa dengan jawaban yang kutulis. Semakin sakit hati dengan cerita yang sebenarnya. Tentang sebab perubahan sikapku selama ini.
Aku tidak pernah berharap persahabatan kita berakhir seperti yang kaukatakan. Karena kau adalah sahabat sejatiku. Kau memiliki kelebihan yang tidak dimiliki teman-teman yang lain.
Namun… "badai isu" itu yang telah berusaha menghancurkan persahabatan yang kita bangun bersama. Isu yang aku yakin tidak benar. Mereka hanya mengada-ada. Mereka hanya iri dengan keakraban kita berdua. Karena hal itu memang tidak pernah terjadi antara kita.
Nur, maafkan aku jika aku baru berterus terang dengan perubahanku selama dua bulan ini.
Sebenarnya hal ini tidak ingin aku sampaikan kepadamu. Tapi aku rasa ini penting untuk kauketahui. Agar kecurigaan yang selama ini bercokol dalam hatimu hancur tak berbekas. Karena aku tahu, kita tidak seperti yang mereka sangkakan. Yang telah menduga persahabatan kita "tidak sehat". Di luar batas kewajaran. Padahal aku tahu "perasaan" itu hanya pantas untuk kita berikan kepada kaum Adam. Kaum lelaki yang Allah sediakan untuk kita, kaum Hawa.
Begitulah, Nur. Aku harap kau mengerti. Dan sekarang, izinkan aku kembali merenda dan menyulam benang persahabatan kita. Sekali lagi, maafkan aku, Nur…
Wassalam…
Ukhtuki Fillah,
Zahra Adzkiya
Suratmu kulipat kembali, Za. Aku tidak kuat menahan air mata yang kian deras membasahi pipiku. Apa salah kita, Za? Apa alasan mereka menilai kita serendah itu dan sehina itu? Aku masih normal, Za. Dan aku yakin kau juga begitu. Atau memang kita harus tidak berlebihan dalam berteman? Apa benar kata Ustadzah Sarah, kalau teman-teman yang lain juga membutuhkan kita? Mengharapkan perhatian dan kasih saying kita? Apakah ini yang telah menyebabkan mereka berburuk sangka?
***
Ellak Daya, Maret 2006
Untuk seorang "sahabat" yang t'lah menyembuhkan "penyakit"-ku; syukron terapinya!
*) Puisi ini dikutip dari novel Siluet Senja karya Hafidz & Ria, GIP Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar