SMS, Chating=Berkhalwat?

07.25 / Diposting oleh untung wahyudi /

Akh, dia sering menghubungi saya. Bukan hanya via SMS tapi juga sering menelepon. Kadang lama banget. Ngalor-ngidul tanpa arah. Saya takut dia tersinggung kalau saya putus telepon darinya. Saya sering berpikir apakah chating lewat HP (SMS atau telepon) itu juga termasuk ‘berkhalwat’”? curhat seorang teman akhwat suatu ketika lewat SMS. Teman akhwat saya ini adalah salah seorang teman “sahabat pena” saya ketika saya mempunyai hobi korespondensi beberapa tahun yang lalu. Anak Ponorogo yang juga alumni sebuah pondok pesantren terkenal di kota Reog itu. Semenjak perkenalan yang hanya lewat surat itu kami saling bertukar kabar bahkan tak jarang saling cerita-cerita tentang kehidupan kami waktu masih di pesantren. Tapi semenjak ada alat komunikasi bernama Hand Phone tradisi berkirim surat pun punah. Kami tidak lagi berkirim kabar lewat pos tapi lewat pesan singkat bernama SMS. Dan lewat SMS pula saya mengenalkan teman saya ini kepada salah seorang teman ikhwan.

Dan “dia” yang dimaksud oleh teman saya di atas adalah teman saya sendiri yang tanpa setahu saya sering menghubunginya lewat telepon. Saya agak kaget membaca SMS teman saya itu. Karena saya merasa bertangggung jawab atas "perbuatan" teman saya yang mungkin telah mengganggu ketenangan akhwat tadi.

Saya jadi serba salah. Saya bingung harus menjawab apa. Apalagi dia bertanya tentang definisi khalwat. Saya bukan ahli agama yang bisa seenaknya memberikan penjelasan tentang khalwat yang orang lain tentu mempunyai interpretasi sendiri tentang khalwat.

Setahu saya khalwat adalah interaksi dua orang lain jenis yang dilakukan tanpa ada seorang muhrim di dekatnya. Namun jika “interaksi” itu hanya lewat telepon apakah termasuk berkhalwat?

Afwan, selama obrolan kalian tidak menjurus kepada hal-hal yang negatif itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah jika obrolan kalian menjurus pada hal-hal yang membuat hati kalian “kotor” oleh sesuatu yang bisa merusak hati kalian berdua.” Saya coba balas SMS itu dengan sedikit argumen tentang masalah yang dia hadapi.

Syukron….” Balasnya singkat.

Dan kami cukup lama tidak saling berkirim kabar. Mungkin karena kami mempunyai kesibukan tersendiri sampai kami tidak ada waktu untuk sekadar bertanya kabar. Sampai pada suatu hari teman akhwat saya tadi kembali mengirim SMS. Sangat singkat dan sempat membuat hati saya bertanya; ada apa gerangan?

Akh, afwan boleh tanya nggak? Begini, katanya jika ada seorang yang bersuku Madura akan menikah dengan orang Jawa prosesnya susah, ya?”

“Emangnya kenapa kok ukhti tanya seperti itu?” Tanya saya tidak mengerti.

“Nggak sih, Cuma nanya aja!”

“Oh…, itu sih terserah proses di antara kedua belah pihak. Banyak juga kok tetangga saya yang menikah dengan orang Jawa….” Balas saya mencoba memberikan sedikit penjelasan.

“Setahu saya orang Madura itu identik dengan kekerasan, galak, sangar atau entah istilah lain. Pokoknya gitu, deh…!

Saya lagi-lagi dibuat terkejut. Kok menjurus ke hal-hal tersebut? Apa hubungannya? Saya jadi sedikit tersinggung. Masa separah itu mereka menilai orang Madura. Apakah memang seperti itu tipikal orang Madura yang berada di luar daerah? Sangar dan keras?

Nggak juga. Itu hanya persepsi sebagian orang saja. Banyak juga kok orang Madura yang lemah lembut dan penyabar….J” saya sedikit berpromosi karena jujur saya tersinggung dengan imej buruk tentang orang Madura tersebut.

Syukron, ya…!!”

Saya kembali dengan rutinitas saya sebagai salah seorang pengajar di pesantren. Saya semakin penasaran dengan pertanyaan teman akhwat saya. Apa maksudnya dia tanya selengkap itu tentang orang Madura?

Ada banyak kejanggalan yang saya tangkap dari “diskusi” kecil antara saya dan sahabat pena saya tersebut. Apakah ini ada hubungannya dengan teman ikhwan saya yang sering menghubunginya? Ah, tidak baik bersuudzon. Lebih baik saya tanyakan langsung kepada teman saya. Daripada mati penasaran?

Akhirnya saya coba menemui teman saya yang saat itu sedang sibuk mempersiapkan KKN. Ya, dia Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra di salah satu perguruan tinggi di kota saya.

“Sebelumnya afwan, akhi. Sebenarnya saya sudah lama ingin bercerita. Tapi saya tidak enak dan merasa belum waktunya. Saya memang sering menghubungi dia lewat telepon. Dari sekadar tanya kabar, tukar pengalaman sampai kami mumpunyai niat untuk taaruf….?

Lagi-lagi saya dibuat terkejut oleh penjelasan teman saya. Jadi benar dugaan saya selama ini. Pertanyaan-pertanyaan itu?

Antum serius?” Tanya saya sedikit ragu. Karena jujur saya masih belum percaya dengan kabar ini. Karena selama ini mereka hanya kenal lewat SMS. Belum kenal wajah kecuali lewat selembar photo yang dia kirimkan kepada saya di awal perkenalan kami lewat surat dulu.

Insya Allah, akh. Kami akan mencoba menjalani masa taaruf ini karena kami sudah saling berkomitmen dan jika Allah mengijinkan kami akan melanjutkan hubungan ini ke jenjang pernikahan. Agar tidak ada fitnah….”

Ada sesuatu yang menyelinap dalam hati saya. Bukan rasa cemburu. Tapi segumpal rasa yang membuat hati ini perlahan bertasbih. Subhanallah…, betapa sempitnya dunia ini. Semoga niat mereka berdua seiring dengan rencana-Nya. Saya hanya bisa memberikan mereka kado doa. Semoga mereka dipermudah untuk melangkah lebih jauh. Menempuhi jalan yang akan diberkahi Allah. Insya Allah. Amien…

***

*) Buat akhi dan ukhti; semoga Allah mempertemukan kalian dalam

satu ikatan yang sah. Doaku untuk kalian berdua.

0 komentar:

Posting Komentar