Tak Seindah Asa

08.30 / Diposting oleh untung wahyudi / komentar (0)

02 April 2005

Namanya Zahra. Zahra Adzkiya. Nama yang indah. Sifatnya yang lemah lembut dan keibuan telah memikatku untuk memilikinya. Menjadikannya teman pendamping hidupku. Aku tidak pernah menduga kalau Mas Rozy akan mengenalkanku dengan gadis Madura yang cantik jelita itu. Gadis yang selama beberapa minggu ini mengganggu pikiranku. Mengganggu malam-malamku.

Dan yang membuatku tidak percaya, gadis itu langsung menerima tawaranku untuk ta'aruf, sebagaimana yang ditawarkan Mas Rozy padaku. Aku tidak mau menjalani hubungan ini dengan pacaran. Sudah bukan waktunya untuk "main-main" dengan urusan seperti ini. Aku hanya ingin satu; menyempurnakan separuh agamaku. Mengarungi kehidupan rumah tangga yang kata Mas Rozy penuh liku-liku, perjuangan dan pengorbanan. Dan satu lagi kata Mas Rozy, menikah bisa bikin kaya! Benarkah? Ah… aku juga tidak tahu. Yang jelas Mas Rozy lebih berpengalaman. Dia sekarang bahkan sudah dikaruniai dua orang mujahid yang tampan nan lucu. Ah, aku semakin iri dengan semua itu. Kapan aku bisa merealisasikan mimpi dan keinginanku?

Namun… kata-kata dokter Adi dua minggu yang lalu membuat semangatku tumbang. Hilang tak berbekas. Apa yang disampaikannya telah membuatku menjadi makhluk kerdil. Seonggok daging tak berharga, lebih-lebih di depan wanita.

"Hanya mukjizat Allah yang bisa mengubah semuanya, Mas Wahyu. Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha. Saya harap Anda bersabar…."

Kalimat terakhir dokter Adi membuatku terpaku. Aku hanya pasrah. Walau jauh di dasar hatiku masih meragukan keputusan dokter Adi. Keputusan yang membuat hancur semua impianku.

15 April 2005

Pukul delapan pagi. Suasana arus lalu lintas di kawasan Umbulharjo seperti biasa sudah semrawut dengan lalu lalang kendaraan. Bus, angkot dan puluhan becak yang masih setia menunggu para penumpang. Sementara angkot yang aku tumpangi terus melaju. Membelah arus lalu lintas di kawasan Umbulharjo. Tepat di jalan Golo aku turun. Lima menit jalan kaki aku sudah sampai di tempat kerjaku. Penerbit ARJUNA, salah satu penerbit buku-buku sastra di kota gudeg ini.

Kulihat suasana kantor tempat kerjaku mulai ramai oleh beberapa karyawan yang sudah berdatangan.

"Pagi, Yu. Gimana nih proses ta'arufnya?" sebuah suara menghentikan langkahku ketika langkahku hendak ke ruang kerja. Dari suaranya aku kenal. Dia Pak Sholeh, direktur penerbit ARJUNA. Seperti biasa ia datang lebih pagi dari para karyawan. Mungkin untuk memberi contoh kalau kita harus benar-benar menghargai waktu.

"Insya Allah, masih dalam proses, Pak." Jawabku sembari tersenyum.

"Menurutmu dia cocok?" Tanya Pak Sholeh lagi. Aku hanya mendesah dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Sholeh dengan tenang. Karena Zahra bagiku adalah gadis yang ideal. Dia adalah gadis yang selama ini aku impi-impikan.

Pak Sholeh hanya tersenyum mendengar jawabanku.

"Saya doakan, Yu. Semoga kalian berdua bahagia dan cocok." Ucap Pak Sholeh seraya melangkah ke meja kerjanya. Beberapa meter dari meja kerjaku.

Aku juga duduk di kursi belakang mejaku. Di depanku sudah ada tumpukan naskah yang baru masuk. Kuhidupkan komputer dan mulai membuka naskah-naskah dalam amplop itu.

Ada dua naskah novel dari dua orang penulis pendatang baru. Setahuku, baru kali penulis itu mengirimkan ke ARJUNA. Entah di tempat lain. Mungkin saja dia sudah pernah menerbitkan karya-karyanya di penerbit lain. Karena di kota ini tidak susah mencari penerbit khususnya untuk karya-karya fiksi. Yogyakarta dikenal dengan markasnya penerbit buku. Dari yang sudah sepuh sampai yang baru lahir ada. Hanya saja penerbit-penerbit baru harus bisa bersaing dengan penerbit lain yang sudah lebih dulu dikenal publik. Baik dari kualitas karya apalagi dari kemasan buku yang diterbitkan. Karena penampilan sebuah buku juga mempengaruhi minat pembaca. Biarpun karyanya bagus kalau sampul bukunya kurang "nyeni" bisa saja buku itu ditinggalkan pembeli.

Sekilas kubaca biodata singkat penulis novel itu. Zahra Alexandria. Masih cukup muda. Usianya baru dua tiga. Tiga tahun lebih muda dariku. Baru sarjana S1 di Fakultas Adab UIN Yogyakarta. Pantas saja dia bisa menulis novel. Wong dia mahasiswa sastra Arab! Pikirku.

Kembali aku tenggelam dalam pekerjaanku bersama suara merdu grup Nasyid Raihan yang mengalun indah dari winamp komputer di sampingku.

Awal Juni 2005

Sudah dua bulan masa ta'aruf aku jalani. Mas Rozy semakin menyemangatiku untuk tetap berpegang teguh pada prinsipku.

"Aku harap kau lebih bisa meyakinkan hati kamu, Yu. Aku yakin istikharah kamu nggak bakal sia-sia. Aku juga doakan semoga hatimu dan juga hati Zahra semakin mantap." Mas Rozy terlihat antusias. Mendorongku penuh semangat. Andai saja dia tahu apa yang sedang bergejolak dalam hatiku… Ah, aku harus menyimpannya. Aku tidak mau Mas Rozy kecewa. Mas Rozy sudah mati-matian mengusahakanku untuk mengenal Zahra. Tapi bagaimana kalau Zahra tidak bahagia? Kalau aku tidak bisa mempersembahkan sesuatu yang akan membahagiakan hatinya?

"Tapi, Mas…" suaraku tercekat. Embus angin dari jendela rumah Mas Rozy seolah-olah mengisyaratkanku untuk tidak bicara. Untuk tidak menyampaikan masalah ini sekarang. Mungkin angin juga tahu kalau aku masih belum siap bercerita. Lama aku terdiam. Pandanganku hanya terpaku pada lukisan kaligrafi yang menghiasi dinding ruang tamu Mas Rozy.

"Tapi kenapa, Yu…?" aku tersentak. Suara itu bukan suara Mas Rozy. Tapi suara Mbak Diah, istrinya.

"Mm…" aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku.

"Kau masih ragu dengan masa depanmu? Kau takut tidak bisa memberinya makan, begitu?" suara Mbak Diah membuatku semakin tersudut. Bukan, bukan itu! Jawabku dalam hati.

"Terus kenapa masih ada tapi…?" Mas Rozy kembali nimbrung sembari membelai hangat rambut anaknya yang menggelayut manja di depannya.

"Jangan pernah ragukan rejeki-Nya, Yu. Allah Mahaluas Rejeki-Nya. Dulu, sebelum menikah aku sama sekali tidak punya pekerjaan tetap. Tapi kami masih bisa makan. Bahkan juga bisa punya anak. Iya, kan Bu…?" kata Mas Rozy berpromosi sembari melirik istrinya yang manis. Ah, biarlah semua ini menjadi rahasia pribadiku. Aku tidak mau menyusahkan Mas Rozy dan istrinya. Karena aku yakin mereka akan bersedih kalau tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Apa yang sedang bergejolak hebat dalam batinku.

"Apalagi Zahra orangnya kreatif. Tanpa kamu tahu ternyata dia seorang penulis. Penulis novel lagi. Sudah dua novelnya yang terbit."

Saat ini asli aku semakin tidak percaya mendengar kalimat terakhir Mas Rozy. Ternyata Zahra adalah gadis yang memiliki segalanya. Tidak saja wajahnya yang cantik dan manis. Dia juga cerdas dan kreatif. Tapi kenapa aku tidak pernah membaca karya-karyanya? Padahal aku termasuk penikmat buku-buku sastra. Itu aku lakukan untuk bisa membandingkan mana naskah yang baik atau sebaliknya. Khususnya penulis-penulis dalam negeri. Bahkan aku lebih suka membaca karya para penulis baru yang saat ini cukup menjamur. Banyak penulis dan novelis baru bermunculan. Dan aku tidak pernah melihat nama Zahra Adzkiya di sampul-sampul buku yang pernah saya lihat di rak-rak toko buku. Apa dia pake nama pena? Nama samaran?

"Dia pake nama pena, ya, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nah, kan kamu penasaran juga. Kamu benar. Dan mungkin kamu pernah melihat namanya di sampul-sampul buku novel. Katanya sih novel keduanya diterbitkan di penerbit ARJUNA."

Aku semakin tidak percaya. Di ARJUNA? Berarti aku sudah pernah membaca naskahnya? Tapi siapa, ya?

"Nama penanya Zahra Alexandria." Mendengar nama itu disebut aku semakin terkejut. Berarti nama itu? Novel yang bagus itu punya Zahra? Zahra Adzkiya yang selama ini aku kenal?

"Kenapa, Yu? Kok kayaknya kamu terkejut begitu. Emang kamu pernah membaca karyanya?"

"Justru sebelum naskahnya menjelma kongkrit menjadi sebuah buku, aku sudah membacanya." Kini giliran Mas Rozy yang terkejut.

"Jadi posisi kamu di ARJUNA sebagai tim penyeleksi naskah? Editor? Wah, kirain hanya karyawan biasa. Kalau begitu klop lah. Nanti istri kamu yang ngarang dan kamu sebagai editornya. Nepo dikit nggak apa-apa, kan? He… he…" Mas Rozy terkekeh. Mbak Diah juga. Aku ikut-ikutan tersenyum.

15 Juni 2005

Allah… haruskah aku lanjutkan masa ta'aruf ini? Apa aku harus mengkhitbah Zahra? Padahal aku sendiri tidak yakin bisa membahagiakannya. Hanya kepada-Mu aku serahkah masalah ini. Sungguh, aku tidak mau mengecewakan gadis itu. Orang tuanya di Madura sudah setuju dan mau menerimaku apa adanya. Begitu juga Zahra. Dia tidak melihatku dari segi materi. Dia tidak peduli aku punya pekerjaan mapan apa tidak. Menurutnya materi bisa dicari. Dan dia yakin kalau menikah itu akan mendatangkan banyak berkah. Dia tidak pernah ragu dengan nikmat-Mu ya, Allah. Tapi….

25 Juni 2005

"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, Mas. Aku tidak bisa mengkhitbah dia…" suaraku tercekat. Aku tidak mampu menatap wajah Mas Rozy di depanku.

"Kamu serius, Yu? Kamu kenapa? Sejak kapan kamu jadi pengecut begini? Apa lagi yang kamu tunggu? Kau masih normal kan? Kau tidak punya kelainan seksual kan?"

Pertanyaan-pertanyaan Mas Rozy semakin deras menyerangku. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah pernah singgah dalam pikiranku. Pasti Mas Rozy curiga macam-macam setelah mendengar keputusanku. Dia pasti mencurigaiku tidak normal!

"Insya Allah aku masih normal, Mas. Aku sama sekali bukan golongan yang dilaknat Allah dalam al-Qur'an itu. Tapi aku…." Kelopak mataku memanas.

"Tapi kenapa…? Karena kamu belum siap? Karena kamu ragu dengan rejeki-Nya?"

"Bukan, Mas. Bukan itu. Hanya saja aku…"

Aku kembali terdiam. Rasanya kekuatan yang selama ini aku kumpulkan untuk menceritakan hal yang sebenarnya hilang.

"Aku akan cerita. Tapi tidak sekarang. Aku ingin menyampaikan langsung hal ini di depan Zahra. Dan aku harap Mas Rozy mau menemaniku nanti."

Mas Rozy masih termangu. Aku yakin dia sangat shok mendengar keputusanku. Keputusan yang aku yakin juga akan membuat hati Zahra berkeping-keping.

"Maafkan aku, Mas…" desahku perlahan seraya pamitan.

26 Juni 2005

Ya, Allah. Beri hamba kekuatan. Hamba harus berterus terang dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hamba tidak mau Zahra kecewa di kemudian hari. Biarlah hamba ikhlaskan. Mungkin hamba memang tidak pantas untuk mendampinginya. Menemani hari-harinya kelak yang penuh kebahagiaan.

Hamba hanya pasrah dan yakin semua ini adalah takdir-Mu. Hamba tidak akan pernah menggugat-Mu. Karena di balik setiap musibah ada hikmah di dalamnya.

01 Juli 2005

Jam dinding di ruang tamu Mas Rozy berdentang delapan kali. Sudah pukul delapan. Aku duduk berjajar dengan Mas Rozy sementara Zahra di dekat Mbak Diah. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan sejak tadi. Karena aku sendiri sibuk dengan kecamuk pikiranku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Zahra nanti. Aku tidak bisa menduga seperti apa kekecewaan Zahra saat mendengar keputusanku. Allah, beri hamba kekuatan…. Aku mendesah beberapa kali. Bismillah….

"Sebelumnya aku minta maaf. Dan aku ucapkan ribuan rasa terima kasih kepada Mas Rozy dan juga Mbak Diah atas bantuannya selama ini. Aku menghargai usaha Mas Rozy yang sudah mengenalkanku dengan Zahra.

Bagiku pernikahan adalah masa di mana kita akan melabuhkan segenap rasa cinta dalam jiwa. Dan tentu kebahagiaanlah yang diharapkan oleh semua pasangan cinta. Dan saat kebahagiaan yang diharapkan itu hilang hancurlah biduk kehidupan rumah tangga mereka. Dan tugas semua lelaki lah untuk bisa membahagiakan bidadari dalam rumah istananya." Aku berhenti sejenak. Mencoba menenangkan hati dan pikiranku sebelum melanjutkan kalimat selanjutnya. Baris-baris kalimat yang selama seminggu ini aku baca untuk lebih memantapkan keputusanku.

"Dan aku, mungkin adalah salah satu di antara lelaki yang tidak akan bisa membahagiakan pasanganku kelak…." Kalimatku tunai. Aku rasa mereka sudah bisa menebak arah pembicaraanku. Lebih-lebih Mas Rozy yang sudah sedikit tahu kalau keputusanku bukan karena masalah materi.

"Maksud sampeyan bagaimana, Mas Wahyu? Aku sama sekali tidak mengerti." Zahra akhirnya angkat bicara. Dan aku sudah menduga kalau gadis berjilbab putih di depanku itu tidak akan mengerti sebelum aku menjelaskan masalah yang sebenarnya.

"Benar, Yu. Mbak Diah juga nggak ngerti. Apa alasan kamu sehingga kamu memvonis diri kamu sendiri tidak bisa membahagiakan pasangan kamu kelak?" Mbak Diah juga buka mulut. Semua pandangan mata tertuju kepadaku. Aku semakin bingung. Detak jentangku semakin tidak beraturan.

"Beberapa bulan yang lalu aku memeriksakan diri ke dokter Adi. Dan menurut hasil pemeriksaan aku sulit untuk bisa memberikan keturunan. Aku…."

Kalimat terakhirku tak ubahnya bom yang pernah meledak di pulau Dewata Bali beberapa tahun lalu. Semua tersentak. Mas Rozy kian shok. Zahra kulihat hanya tertunduk. Aku tidak tahu bagaimana cuaca hatinya saat ini. Dari sudut matanya kulihat ada titik-titik bening menggelinding, jatuh membasahi pipinya yang bersih.

Suasana semakin sepi. Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang terdengar di ruang tamu. Mungkin mereka masih tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

***

PPMU Jambu, 11.15 / 02.04.06

*) Untuk seorang "sahabat" yang "hilang"; di setiap musibah pasti ada hikmah.

Bidadari untuk Fadli

08.27 / Diposting oleh untung wahyudi / komentar (0)

"Proses dalam memilih jodoh itu ada tiga. Pertama adalah Khiyarah. Artinya kita harus berusaha untuk mendapatkan calon pendamping hidup yang sesuai dengan kriteria kita. Setelah itu baru kita Istisyarah. Konsultasi dan memusyawarahkan rencana kita. Dengan orang tua, kerabat, dan kalau perlu dengan teman dekat. Dan yang terakhir adalah Istikharah. Dalam hal ini kita komunikasikan hajat kita dengan Allah. Memohon agar hati kita dimantapkan dalam urusan ini."

Tausiyah Ustadz Mursalin pada acara pengajian mingguan di masjid At-Takwa kemarin kembali terngiang-ngiang di benak Fadli. Ia tiba-tiba ingat umurnya yang sudah lebih dari cukup untuk mengakhiri masa lajang itu. Kalau mau mengikuti sunah Rasul, berarti ia sudah terlambat dua tahun. Karena konon Rasulullah menikah dengan Siti Khadijah saat usia beliau dua puluh lima. Berarti aku?

Fadli termenung. Di atas sajadah biru ia terpaku. Sepasang matanya lekat memandangi pilar-pilar masjid yang menghiasi permukaan sajadah.

Ia tahu kalau menikah adalah hal yang disunnahkan dan sangat dianjurkan dalam agamanya. Bahkan seperti dalam hadist yang pernah dibacanya Rasulullah melarang keras umatnya untuk lama-lama membujang. Beliau menghimbau umat manusia yang sudah mampu menikah untuk segera menikah. Karena dengan menikah manusia lebih bisa menjaga pandangan dan memelihara kemaluan.

Tapi sungguh bukan ia tidak mau melaksanakannya. Ia bukan tidak mengindahkan perintah agamanya. Yang ada dalam hatinya hanya satu; BELUM SIAP! Ya, ia masih belum siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang menurutnya sangat berat itu. Ia tidak mau nanti mengecewakan istrinya karena ia masih belum punya pekerjaan tetap. Ia masih belum bisa memenuhi segala tetek-bengek yang berkaitan dengan pernikahan. Mahar, biaya walimahan dan semuanya. Karena ia sadar kalau di tempat ini ia hanya hidup sebatangkara. Ia tidak punya keluarga yang bisa membantu kebutuhan hidupnya di kota pahlawan ini.

Tanpa sadar ia kembali terseret pada peristiwa lima tahun silam yang telah membuatnya terdampar di kota ini. Saat rumah gedek milik keluarganya dilalap si jago merah dan menewaskan kedua orang tua dan adik semata wayangnya.

Mata Fadli membasah. Bulir-bulir bening itu tiba-tiba mengalir membasahi pipinya yang bersih.

Ya, Allah. Maafkan hamba. Bukan hamba acuh terhadap perintah-Mu. Sama sekali bukan. Hamba tidak akan pernah mengubah kodrat hamba sebagai laki-laki. Hamba akan segera menikah demi berlangsungnya jihad di muka bumi-Mu ini. Pemuda itu tengadah. Menangkupkan kedua tangannya tepat di depan wajahnya. Bait-bait doa semakin deras mengalir mengarungi malam yang kian sunyi.

***

Bisa menghirup aroma kehidupan yang penuh dengan berjuta nikmat seperti sekarang, itu sudah cukup bagi Fadli. Ia tidak pernah mengkhayal untuk menjadi seorang pejabat kaya raya yang bisa membeli apa saja dengan uang. Karena ia sadar mengkhayalkannya hanya buang-buang waktu dan kesempatan. Toh Tuhan di dunia ini tidak membagi-bagikan pekerjaan melainkan rejeki kepada hamba-hamba-Nya.

Menjadi marbut masjid seperti saat ini ia sudah bersyukur. Betapa besar nikmat Allah. Dan ia yakin apa yang dimilikinya saat ini merupakan jatah dari Allah untuk dirinya. Karena Allah tidak akan pilah-pilih dan tidak akan keliru membagi-bagikan nikmat kepada hamba-Nya.

Tapi akhir-akhir ini ketenangan hatinya kembali terusik. Saat beberapa rekannya di Remas dan Takmir masjid dengan sumringah dan penuh bahagia membagi-bagikan undangan walimahan saat itu pula hatinya merasa tertohok. Seolah-olah ada benda tajam yang merejam-rejam bongkah hatinya. Sakit! Perih!

Tapi ia tidak pernah menyalahkan takdir dan keadaan yang selama ini mengungkung kehidupannya. Ia hanya pasrah dan mampu menjawab "masih belum saatnya" ketika beberapa rekannya menanyakan perihal rencana pernikahannya.

Dan malam ini ia kembali gelisah. Hatinya gundah. Ustadz Mursalin tadi siang kembali menyinggung masalah pernikahan. Dan ia yakin semua itu beliau tujukan untuknya yang masih belum menemukan calon pendamping hidup yang kelak akan menenteramkan hatinya.

Padahal bukan ia tidak mau menikah. Hanya saja siapa yang mau menerima lamarannya? Masih adakah seorang perempuan yang sudi melihatnya, yang hanya hidup sebatangkara dan tidak berpunya? Masih adakah di jaman ini perempuan yang mau menerima seorang lelaki apa adanya tanpa melihat materi yang dimilikinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin sesak menjejali ruang pikirannya. Hatinya kalut. Kedua matanya mengabut.

***

Tanpa terasa air mata Fadli tumpah. Menyeruak bersama rasa haru yang memenuhi hati dan perasaannya. Inikah jawaban atas doa-doanya selama ini? Maha besar Allah yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.

Ia tak pernah menduga kalau akhirnya ada juga bidadari yang sudi menerima keadaannya. Seorang bidadari yang akan memberikannya seorang mujahid yang kelak akan menemaninya berjuang menegakkan agama Allah.

Fadli melirik perempuan berkerudung putih di sampingnya. Sarah! Ah, ia benar-benar tidak menduga kalau Ustadz Mursalin akan "menghadiahkan" putri semata wayangnya untuknya. Berkali-kali kalimat tahmid meluncur dari bibirnya. Apalagi saat Sarah, wanita yang mulai hari ini resmi menjadi pendamping hidupnya meraih tangannya dan menciumnya penuh takdzim.

Rasa haru dan bahagia kembali menyeruak memenuhi taman hatinya yang penuh bunga. Benar-benar di luar dugaan dan kesadarannya! Padahal ia tidak pernah bermimpi kalau Sarah lah yang akan menjadi mutiara hatinya.

Pemuda itu kembali menatap sepasang mata Sarah yang teduh. Mata yang menyiratkan kedamaian dalam hatinya. Mata bening yang ia yakin saat ini penuh dengan bunga-bunga cinta. Cinta yang lahir dari hati yang suci. Ketika dirasakannya seseorang menyentuh pundaknya.

"Fad, kamu dipanggil Ustadz Mursalin. Katanya ada hal penting yang akan beliau bicarakan." Fadli terlonjak. Kain pel yang sedari tadi dipegangnya hampir mengering. Ia baru sadar kalau pekerjaannya mengepel lantai masjid masih belum selesai. Ia buru-buru merapikan alat-alat pel di depannya dengan detak jantung yang tiba-tiba tak beraturan. Apa yang akan beliau bicarakan? Apa ia punya salah? Ia tidak bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang menguras pikirannya. Segera ia bangkit menuju kediaman Ustadz Mursalin yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari masjid.

Fadli terkejut begitu sampai di rumah Ustadz Mursalin. Beliau sudah menunggunya bersama seorang gadis di sampingnya. Sarah. Putri semata wayangnya. Seorang gadis yang baru saja bertandang ke negeri khayalnya.

***

Sumenep, 17 Desember 2005/22.50

Jangan Tinggalkan Dia!

08.25 / Diposting oleh untung wahyudi / komentar (0)

05 Ramadhan 1426

Jujur, aku tidak suka dengan cara orang tuaku yang masih memperlakukanku seperti anak kecil. Yang selalu “ikut campur” dalam setiap urusan “pribadi”-ku. Padahal aku sudah mahasiswa semester lima. Usiaku pun sudah menginjak dua puluh tiga. Kupikir sudah saatnya aku untuk mandiri, tanpa harus bergantung pada orang lain.

Bukan aku tidak butuh perhatian mereka. Sama sekali bukan! Aku hanya tidak suka cara orang tuaku yang menurutku terlalu “over protektif” itu.

Oke! Itu bisa aku maklumi. Karena sebagai orang tua, mereka memang bertanggung jawab atas anak-anaknya. Bagaimana perkembangannya, pergaulannya, tingkah lakunya dan sebagainya. Tapi kali ini aku benar-benar tidak suka dengan sikap orang tuaku. Dengan rencana mereka yang akan menjodohkanku dengan seorang gadis di kampungku. Semula aku tidak percaya. Aku anggap omongan kakakku seminggu yang lalu hanya guyonan belaka. Mungkin kakakku hanya ingin “menakut-nakuti” aku yang sampai sekarang masih betah dengan status JOMBLO. Ah… aku jadi semakin pusing. Bingung. Kenapa jalan hidup seperti ini yang harus aku lalui?

“Kakak hanya guyon, kan?” tanyaku sekali lagi di telepon seminggu yang lalu.

“Aku serius, Di. Sepertinya Bapak dan Emak benar-benar merencanakan perjodohan itu. Semula aku juga tidak percaya, karena aku yakin kau tidak mau diperlakukan seperti ini.” Ada nada sesal dalam kalimat kakakku. Ah, Emak… Bapak…

“Kalau menurutmu bagaimana?” lama aku terdiam. Aku baru sadar ketika kakak kembali menyadarkanku dengan pertanyaan yang sama.

“Entahlah, Kak. Aku akan coba membicarakan masalah ini nanti setelah aku pulang.”

“Sebaiknya memang begitu, Di. Kau harus menjelaskan dengan hati yang tenang. Ungkapkan semua alasanmu kalau kau memang kurang suka dengan rencana itu.” Kututup gagang telepon dengan perasaan yang semakin tidak menentu.

11 Ramadhan 1426

Aku benar-benar bingung. Pusing tujuh keliling. Aku tidak bisa membayangkan seandainya orang tuaku benar-benar menjodohkan aku dengan perempuan yang tidak aku kenal itu.

“Gimana, Di? Jadi pulang besok?” Kak Wahyu, kakak kelasku yang sudah tiga tahun mengajar di pesantren ini tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Aku hanya tersenyum seraya menata lembar-lembar jawaban UTS yang berserakan di atas meja. Sebelum pulang aku harus menyelesaikan koreksian yang lumayan menumpuk. Maklum, pesantren baru saja menyelesaikan Rapat Tahunan (RAPTA) untuk mengganti pengurus organisasi yang lama. Jadi konsentrasiku terfokus pada kegiatan tersebut. Hingga tidak sempat mengoreksi jawaban-jawaban UTS.

“Insya Allah jadi, Kak. Tapi….”

“Tapi kenapa, Di? Kok kayaknya kamu kurang semangat untuk pulang. Seharusnya kamu kan gembira karena mau bertemu dengan keluargamu di kampung. Sudah dua tahun kan kamu nggak pulang?”

“Bukan karena aku akan bertemu mereka. Aku hanya belum siap bicara tentang masalahku itu.”

“Maksudmu tentang perjodohan itu?” Kak Wahyu mencoba menerka apa yang bersemayam dalam ruang pikiranku. Ya, masalah ini memang pernah aku sampaikan pada Kak Wahyu, karena aku benar-benar butuh bantuan seseorang yang bisa memecahkan kebuntuan pikiranku. Terutama masalah perjodohan yang menurutku sangat ‘mengerikan’ itu.

“Kamu tenang saja, Di. Sekarang jawaban itu ada pada kamu. Kalau kau memang cocok dengan pilihan orangtuamu, kenapa harus kamu tolak? Misalkan gadis itu sosok yang ideal menurut kamu, terutama akhlak dan agamanya. Itu kan lebih baik. Ingat, jodoh itu memang kadang-kadang datang melalui sebuah perantara. Siapa tahu jodoh kamu memang lewat pilihan orang tuamu?” tanpa aku duga Kak Wahyu mengeluarkan kalimat-kalimat yang cukup membuatku semakin pusing.

“Kok Kak Wahyu jadi mendukung orang tuaku?” tanyaku.

“Bukan masalah mendukung atau tidak. Sekarang masalahnya, bagaimana kalau pilihan orang tuamu itu ternyata cocok sama kamu?”

Aku kembali terdiam. Pikiranku berkecamuk. Kalau kupikir-pikir, apa yang dia sampaikan juga benar. Kenapa sih selama ini aku selalu berburuk sangka? Kalau perjodohan itu adalah sesuatu yang “kurang baik”? Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti apa yang ada dalam pikiran Kak Wahyu?

“Entahlah, Kak. Rasanya saya masih belum siap memikirkan masalah itu.”

“Belum siap bagaimana? Menurutku sudah saatnya kau untuk memikirkan masalah ini. Lagian ini kan masih proses. Siapa tahu pilihan orang tuamu cantik dan shalihah. Maaf, saya tidak bermaksud memprofokasi. Tapi begitulah….” Kulihat Kak Wahyu hanya tersenyum seraya meninggalkanku termangu di depan pintu. Mungkin ia tidak tahu apa yang sedang bergejolak dalam hatiku.

13 Ramadhan 1426

Jam dua belas siang. Alhamdulillah aku sampai di pelabuhan Sapeken setelah hampir empat belas jam menempuh perjalanan dari pelabuhan Kalianget. Perjalanan yang cukup melelahkan. Tinggal dua jam perjalanan lagi untuk sampai ke Desa Sepanjang, kampung halamanku. Desa tempat kelahiranku memang lumayan jauh dibanding pulau-pulau lain yang ada di Kabupaten Sumenep. Dari Sapeken aku harus ikut perahu selama dua jam untuk sampai di Tembing, pelabuhan yang tidak begitu jauh dari rumahku. Ah, Sepanjang… Apa kabar? Sudah lama aku tidak menjejakkan kakiku di pulau ini. Sudah dua tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini. Walau aku selalu berdoa untuk kampung halamanku tercinta.

Adzan Ashar menyadarkanku dari tidur. Rupanya aku benar-benar terlelap sejak perahu yang aku tumpangi berangkat dari pelabuhan Sapeken dua jam yang lalu.

Pelan aku turun dari perahu yang membawaku dengan selamat ke pelebuhan Tembing. Beberapa tukang ojek tampak berkerumun menawarkan tumpangan. Kuedarkan pandanganku ke tempat kerumunan orang-orang di pinggir pelabuhan. Kucari sosok Bapak yang katanya mau menjemputku dengan sepeda motor. Jadi aku tidak perlu naik ojek lagi untuk sampai ke rumah.

Nah, itu dia! Tapi… perasaan gembira dalam hatiku kembali memudar saat kulihat sosok lelaki tegap itu menghampiriku. Bapak! Orang yang selama ini aku banggakan. Sosok yang telah mengajarkanku banyak hal. Walau di satu sisi ada yang kurang aku sukai dari sifat beliau. Sifat otoriter yang sejak dulu tetap melekat pada diri Bapak. Tapi… Walau bagaimana pun beliau adalah orang nomor satu yang harus kubanggakan dalam kehidupanku. Maafkan saya, Pak….

“Bagaimana perjalanannya, Di? Capek, ya?” kusambut tangan Bapak dan kucium tangan beliau penuh takdzim.

“Alhamdulillah. Akhirnya aku sampai juga ke Sepanjang ini. Bagaimana kabar Ibu dan Tutik? Mereka baik-baik saja kan, Pak?”

“Mereka sehat-sehat saja. Kakakmu insya Allah besok lusa datang. Katanya dia mau ikut perahu milik nelayan dari Banyuwangi.”

Udara dingin tampak berdesir cukup dingin. Awan tebal bergantung menggayuti kaki langit bersama gerimis yang mulai menetes.

Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok penuh kerikil dan batu akhirnya aku sampai di rumah. Kulihat pemandangan di sekitar. Rumah-rumah panggung masih tetap mendominasi suasana desa Sepanjang yang tampak tenang. Walau ada beberapa yang sudah berganti rumah gedung.

13 Ramadhan 1426, jam 15.30 WIB.

Kedatanganku disambut dengan cukup meriah di rumah ini. Maklum, sudah dua tahun aku tidak pulang. Para tetanggaku pun banyak yang berdatangan menyambut kedatanganku. Setelah lama bercengkrama dengan keluarga dan segenap famili aku sowan ke rumah Ustadz Yusuf, guru ngajiku di surau sebelum aku nyantri ke kota. Suasana surau masih tampak seperti yang dulu.

“Saya sangat mengharapkan kehadiranmu di sini, Di. Kapan kamu akan pulang kampung?” Tanya Ustadz Yusuf.

“Kuliah saya masih tinggal dua tahun lagi, Ustadz. Nanti kalau sudah saatnya pulang, saya akan pulang untuk membantu rekan-rekan di sini untuk meramaikan mushalla.”

“Itu yang sampai saat ini saya usahakan, Di. Warga kampung di sini masih lebih suka shalat di rumah daripada shalat berjamaah di mushalla. Oh, ya, nanti habis tarawih kau isi kultum, ya. Sekali-kali nggak apa-apa kan?”

“Ustadz Yusuf kan lebih afdhol, daripada saya yang masih belum ada apa-apanya ini.”

“Nggak apa-apa, Di. Kamu coba saja nanti. Materinya terserah kamu.”

Lama aku terdiam. Menurutku, ini adalah tugas yang cukup berat. Menyampaikan dakwah di depan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan dan mental yang matang sebelum menyampaikannya.

“Insya Allah, saya akan mempersiapkan dulu, Ustadz.” Akhirnya kuiyakan tawaran Ustadz Yusuf walau masih ada sejumput keraguan yang menyelinap di bilik hatiku.

Tanpa terasa perbincanganku dengan Ustadz Yusuf semakin jauh. Dari masalah tradisi masyarakat yang masih belum berubah sampai perselisihan masalah “paham” yang akhir-akhir ini cukup hangat di masyarakat. Aku cukup serius mendengarkan semua cerita Ustadz Yusuf.

Doakan saya semoga lancar dan bisa pulang dengan cepat ke kampung ini, Ustadz. Bisikku dalam hati. Memang, mau tidak mau aku harus pulang ke kampung ini. Walau bagaimanapun ladang dakwah di sini harus selalu dipupuk agar masyarakat awam di kampung ini juga mempunyai daya pikir yang seimbang. Agar mereka juga merasa bertanggung jawab atas kampung Sepanjang yang lumayan potensial ini. Apalagi saat ini, di kampungku ini ditemukan ada sumber Migas. Sekian hektar lahan pertanian dibeli pemerintah untuk jalan dan lokasi pelabuhan. Itu berarti masyarakat di sini harus mempersiapkan SDM yang memadai agar tidak mudah dibodoh-bodohi.

17 Ramadhan 1426

Malam ini ada musyawarah keluarga. Musyawarah tentang rencana kedua orang tuaku. Aku masih bingung. Entah apa yang akan aku ungkapkan nanti pada mereka.

Alhamdulillah suasana musyawarah berlangsung cukup lancar. Bapak dan Ibu akhirnya menyerahkan semuanya kepadaku. Sekarang tinggal bagaimana aku menyikapi rencana mereka. Pada intinya mereka sangat mengharapkan aku bisa menikah dengan Aisyah, putri Bapak Wahyono yang sedang nyantri di Al-Ihsan, pesantren tempatku belajar waktu Tsanawiyah dulu.

Aku sama sekali tidak menyangka. Ternyata calon yang ditawarkan kepadaku adalah sosok akhwat sejati. Asli. Kemarin aku melihatnya saat lewat di jalan raya depan rumahku. Masya Allah, aku tidak pernah menyangka. Busana yang dikenakannya benar-benar busana yang menutup seluruh anggota tubuhnya. Jilbab yang dikenakannya pun sangat besar dan lebar. Bukan kudung gaul yang biasa digunakan untuk penutup kepala. Aisyah adalah sosok perempuan yang selama ini aku impi-impikan.

Allah… Jika dia memang ditakdirkan sebagai jodoh hamba, izinkan hamba mencintainya, setulus hati hamba.

18 Ramadhan 1426

Atas izin orang tuanya, akhirnya aku menemui Aisyah di rumahnya tadi pagi. Pertemuan pertama semenjak orang tuaku merencanakan perjodohan itu. Hati-hati aku coba bercerita tentang latar pendidikan dan pengalamanku selama ini. Aku agak rikuh juga. Ternyata dia pendiam. Dia sama sekali tidak memandang ke arahku selama aku bicara. Pandangannya tetap tertuju pada tikar plastik yang menghiasi lantai papan rumah Aisyah.

“Bapak banyak cerita tentang Antum.” Ucapnya tetap dengan pandangan tertunduk.

“Begitulah. Sebenarnya tidak ada yang bisa saya andalkan kecuali pengetahuan yang masih sangat sedikit. Kalau Anti sendiri bagaimana?”

“Saya sudah kelas tiga Aliyah. Beberapa bulan lagi lulus.”

“Ada rencana untuk kuliah?” tanyaku hati-hati.

“Entahlah. Belum ada rencana. Kalau kemauan ada, tapi yang saya pikirkan adalah biaya. Biaya kuliah kan mahal.”

Aku terdiam. Begitu juga Aisyah. Rasanya materi pembicaraan yang kupersiapkan habis sudah. Apa lagi ya, yang belum? Oh, ya. Aku masih belum membahas tentang masalah ini. Tentang perjodohan ini.

“Sebelumnya maaf. Menurut Anti bagaimana tentang rencana orang tua kita ini? Kalau memang Anti keberatan sebaiknya kita bicarakan. Kita harus sama-sama terbuka. Karena saya tidak mau ada penyesalan di kemudian hari. Maksud saya….”

Sepi. Cukup lama kami sama-sama terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing.

“Saya tidak bisa menjawab sekarang. Tapi yang jelas saya masih ragu dengan rencana ini. Maksud saya, saya khawatir Antum sudah punya calon di tempat Antum mengajar.”

Aku tersentak. Kenapa justru Aisyah yang punya pikiran seperti itu? Seharusnya aku kan yang lebih dulu bertanya apa dia sudah punya calon atau belum? Kok jadi seperti ini sih? Aku semakin bingung.

19 Ramadhan 1426

Pertemuanku dengan Aisyah kemarin menyisakan beribu pertanyaan dalam hatiku. Apa maksud pembicaraannya kemarin? Apa dia yang sudah atau sedang menjalani ta’aruf dengan orang lain?

Kalau aku sendiri, jujur kurang suka dengan perjodohan ini. Tapi melihat keseriusan orang tuaku yang ingin menyandingkanku dengan Aisyah, rasanya aku terlalu egois jika menolak rencana mereka. Karena menurutku, apa sih yang kurang dari sosok Aisyah? Jika melihat dari keluarganya, kurasa dia berasal dari keluarga yang baik-baik. Dan agamanya menurutku tidak perlu diragukan lagi. Tapi masalahnya sekarang adalah; apakah dia juga menerima perjodohan ini?

Ah… entahlah. Aku juga tidak tahu. Rasanya aku terlalu lancang kalau harus bertanya langsung masalah ini kepada Aisyah. Aku khawatir Aisyah tersinggung dengan pertanyaanku. Tapi apa yang harus aku lakukan? Kalau hanya aku saja yang merespon perjodohan ini, sedangkan dia tidak? Ah… kenapa aku berpikir sejauh itu? Ini kan baru proses. Entahlah. Kok tiba-tiba pikiranku jadi seperti ini?

Aku jadi teringat Kak Wahyu saat melakukan khitbah setahun yang lalu. Menurutku proses khitbah antara dia dan tunangannya tidak begitu rumit. Setelah melakukan proses ta’aruf mereka langsung melakukan khitbah. Walau tanpa ada yang menduga hubungan mereka kandas di tengah jalan. Tepatnya dua bulan yang lalu. Semua teman di pesantren terkejut dan tidak menduga kalau Kak Wahyu akan menggagalkan khitbah.

“Bertunangan terlalu lama itu rawan fitnah, Di.” Kilah Kak Wahyu saat aku menanyakan tentang masalahnya. Kak Wahyu hanya tersenyum.

“Kok nggak langsung nikah aja, Kak? Itu kan lebih baik.”

“Menikah?” dahi Kak Wahyu berkerut. Aku hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala.

“Menikah bukan hal yang mudah, Di. Perlu kesiapan mental yang matang. Juga persiapan finansial yang harus kita persiapkan semenjak sekarang. Sudahlah, mungkin antara aku dan dia hanya ditakdirkan bertemu sampai masa khitbah saja. Aku pasrahkan semua urusan ini pada Kuasa-Nya.”

Ah… aku jadi kasihan sama Kak Wahyu. Karena ternyata, seperti yang kudengar masalahnya bukan karena kekurangsiapan Kak Wahyu untuk melangsungkan pernikahan yang menyebabkan gagalnya khitbah itu. Konon ada orang ketiga yang berusaha menghancurkan hubungan mereka. Entahlah. Semuanya sudah terjadi. Dan Kak Wahyu sekarang kembali serius menekuni profesinya sebagai staf pengajar di pesantren di samping menjadi salah seorang pengurus sebuah Yayasan Sosial dekat pesantren.

23 Ramadhan 1426

Aku masih kurang yakin dengan isu yang berhembus tentang Aisyah. Ada yang bilang kalau Aisyah sudah melakukan ta’aruf dengan seseorang. Andai saja orang tuanya tidak mempunyai rencana, laki-laki itu akan melamar Aisyah. Ah, entahlah. Yang jelas kabar itu hanya kabar angin. Mungkin itu hanya ulah orang iseng yang berusaha mematahkan semangatku.

Penasaran, aku langsung mendatangi Aisyah. Aku harus tahu kebenaran isu itu. Kalau memang isu itu benar, rencana orang tuaku harus digagalkan. Aku tidak mau mengganggu hubungan orang lain. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaan Aisyah. Aku tidak bisa membayangkan seandainya aku berada di posisi teman Aisyah itu. Aku tidak mau dianggap sebagai perusak hubungan mereka.

Dan kekhawatiranku terbukti. Seperti kata orang, ternyata Aisyah memang sedang melakukan proses ta’aruf dengan salah seorang temannya di pesantren. Dia hanya tertunduk saat menjawab semua pertanyaanku.

“Maafkan saya, Kak Ardi. Bukan maksud saya untuk menyakiti hati kakak dan orang tua kakak. Saya yakin orang tua saya juga kurang setuju dengan pilihan saya ini. Tapi begitulah. Kami sudah sepakat untuk sama-sama berusaha meyakinkan hati orang tua.” Ada titik-titik air menetes dari sudut mata Aisyah. Ya, Allah… Baru kali ini aku melihat perempuan menangis di depanku.

“Saya sudah menduga, kalau rencana ini tidak akan berlangsung mulus seperti harapan kedua orang tua kita. Kalau Anti sudah mantap dengan pilihan Anti, kenapa harus ragu? Sekarang tinggal bagaimana Anti untuk bisa meyakinkan orang tua Anti. Dan saya yakin orang tua Anti akan memahami posisi Anti.” Aku tertunduk. Aku berusaha untuk meredam gejolak dalam hati yang nyaris menggelegak. Aku harus kuat. Karena aku sama sekali tidak berhak memaksa Aisyah untuk menerima hatiku. Setulus apapun cinta yang ada dalam hati ini.

“Demi suci cintanya, terimalah dia! Insya Allah kalian akan bahagia….”

“Amiin…. Sekali lagi afwan. Semoga Allah menganugerahkan Antum jodoh yang lebih baik, yang sesuai dengan pilihan dan kriteria Antum….” Lirih suara itu membelai halus gendang telingaku.

Setelah beberapa saat, aku pamitan. Kulihat ada sisa air mata yang melekat di pelupuk matanya.

“Assalamu’alaikum….” Ucapku lirih seraya meninggalkan halaman rumah Aisyah. Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di rumahnya. Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaannya.

24 Ramadhan 1426

Samar bahagia yang kudamba

Ternyata masihlah damba

Yang entah kapan menjelma nyata

Kata dan asa yang telah megah terbentang

Di ujung bendera cinta dan kebanggaan

Masihlah bukan suatu jaminan

Dan di barisan depan medan pertempuran

Aku masih menimbang bimbang

Adakah aku sudah tumbang

Ataukah masih tersisa setitik harapan

Penghilang luka dan dahaga

Oleh cinta, rindu-dendam

Yang mengoyak luka sekujur badan

Sepanjang jejak kenangan

Kudekap erat nganga luka

Lalu kurentangkan pada bendera cinta

Lalu selalu kubertanya pada Tuhan

Apakah makna sebuah harapan?

Dalam setiap kisah, entah mengapa

Selalu saja

Aku dipaksa untuk kalah 1

Malam 26 Ramadhan 1426….

Jam 03. 00 dini hari. Aku tersungkur dalam sujud panjangku. Kupasrahkan semua masalah ini kepada-Mu ya, Rabb. Beri hamba ketenangan hati. Singkirkan dari hati hamba sifat-sifat dengki yang berusaha menggerogoti amal hamba. Hamba yakin, takdir, maut dan jodoh ada di tangan-Mu. Semua adalah Rahasia-Mu.

Astaghfirullah… robbal baroyaa… astaghfirullah… minal khataayaa….

* * *

Sumenep, Malam 27 Ramadhan 1426 / 00.00

Sepenggal kenangan di Pulau Sepanjang.

1) Puisi ini dikutip dari buku “Risalah Patah Hati” karya Fahruddin Faiz (Penerbit TINTA)

Pulang

08.23 / Diposting oleh untung wahyudi / komentar (0)

Pelan bis mini yang aku tumpangi merayap. Membelah arus lalu lintas yang tampak lengang di sepanjang jalan raya Lenteng-Sumenep. Meninggalkan kampus damai Pesantren At-Taubah, tempatku selama ini belajar ilmu agama dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Tempatku berinteraksi bersama teman-teman yang insya Allah sholeh dan sholehah.

Di jok belakang, bersama beberapa orang yang mungkin sibuk dengan lamunannya masing-masing aku duduk dengan tenang. Mencoba menata perasaan rindu pada Ayah-Ibu dan adik semata wayangku yang sudah meluap-luap. Sebuah kerinduan yang kutahan selama kurun waktu yang amat panjang.

Di antara desir angin yang menerobos lewat kaca jendela bis aku terlelap dan tenggelam dalam lamunan masa lalu. Tentang kampung halamanku yang lama kutinggalkan. Semenjak kepergianku ke Pesantren untuk menuntut ilmu, aku tidak tahu lagi bagaimana nasib kampung halamanku yang sarat dengan kemaksiatan dan pemurtadan itu. Kesyirikan yang semakin mewabah di lingkungan masyarakatku.

“Kuharap kelak kau bisa menjadi mentari bagi desa ini, Zal. Kasihan penduduk kampung kita ini yang sudah menjadi budak kesyirikan.” Pesan Ibu sebelum keberangkatanku ke pesantren. Aku terdiam sesaat. Seberat apakah beban seorang Da’i dalam menjalankan tugas dakwahnya ? Pekikku dalam hati.

“Insya Allah, Bu.” Ucapku yakin. Ibu menatapku penuh harap. Kulihat ada bening-bening kristal mengalir membasahi pipi beliau.

“Benar, Mas. Mas harus bisa mengubah semua budaya jelek penduduk kampung kita ini.” Ujar Aisyah, adikku.

Lagi-lagi aku terdiam. Mencoba menata hati yang kian sesak oleh perasaan haru dan sedih. Allah... beri hamba-Mu kekuatan. Doaku dalam hati.

* * *

Sebulan keberadaanku di kampung tercinta ternyata tidak membuahkan hasil apa-apa. Tak ada reaksi dan perubahan yang terjadi pada masyarakat sekitarku. Walau sedikit pun. Lebih-lebih pada keluargaku yang menjadi sasaran utama dalam tugas dakwahku.

Ayah seorang penjudi kelas kakap yang cerdas dan lihai. Tak seorang pun yang dapat menyaingi kelihaian beliau dalam berjudi.

Namun aku sadar bahwa tugas dakwah memang berat. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Kesabaran. Itu yang saat ini aku pupuk dalam hatiku. Kesabaran itu senantiasa menjadi bekal utama dalam menjalankan tugas dakwahku. Aku tidak ingin keimananku tergadaikan. Lebih-lebih pada saat yang sangat genting dan mengkhawatirkan ini.

* * *

Suasana rumah mendadak tegang. Hari ini Ayah kalah dalam berjudi. Beberapa kali Ibu berusaha mendinginkan suasana. Namun nihil. Senyum dan kelembutan yang dicurahkan Ibu dibalas dengan bentakan yang memekakan telinga. Mata Ibu berkaca-kaca.

Bedebah..! Dasar bangsat. Dasar dukun penjilat. “ Ayah mulai geram. Mukanya merah padam. Ada dendam dan kemarahan terekspresi lewat wajah tuanya. Kalau sudah begini, biasanya sulit untuk menenangkan suasana.

Dukun ? Ayah memang rajin pergi ke dukun. Hampir setiap hari beliau menyempatkan diri untuk pergi ke dukun. Hanya untuk menanyakan, apakah beliau punya harapan menang atau tidak dalam berjudi.

Kepercayaan Ayah terhadap hal-hal yang berbau mistik itu memang kental. Hampir setiap aktifitasnya selalu beliau kaitkan dengan masalah kedukunan.

“Ayah.., makanya jangan terlalu percaya sama dukun. Mereka hanya butuh uang. Jadikanlah Allah sebagai tempat mengadu, niscaya masalah-masalah tersebut akan mudah terpecahkan.“ Aku mencoba mengakhiri ‘khotbah’ singkatku. Aisyah mengangguk mantap mengiyakan setiap kata-kataku. Tapi Ayah tidak sedikit pun merespon kata-kataku. Beliau tersenyum sinis.

“Jangan coba-coba mengkhotbahi Ayahmu ini, Zal. Percuma. Ayah sudah kenyang dengan khotbah semacam itu.”

“Kalau begitu, Ayah tinggal mengubah sikap dan pekerjaan Ayah. Sadarlah bahwa judi itu haram. Pekerjaan syetan. Orang yang ingin kaya dan berhasil bukan berjudi, tapi bekerja.” Ayah menatapku tajam penuh misteri. Kutundukkan pandanganku agar tidak terkesan menantang. ”Percuma Ayah menempatkan aku ke Pesantren. Kalau Ayah masih begini.” Lanjutku. Ibu menoleh ke arahku. Ada kekhawatiran terpancar lewat pandangan matanya. Aku dapat membaca itu. Ada kesedihan bergejolak dalam batinnya.

“Sudahlah, Zal. Mungkin suatu saat Ayahmu akan sadar. Yakinlah kalau semua ini tidak lepas dari skenario Allah. Yakinlah, Zal...!” bujuk Ibu seraya memegang kedua tanganku. Aku mendongak. Menatap mata beliau yang kian sembab.

“Tapi aku sudah tidak tahan lagi melihat kondisi Ayah yang semakin memprihatinkan, Bu. Kesyirikan itu telah mencabik-cabik kepercayaan Ayah kepada Sang Khaliq.” Tak terasa mataku mengembun. Ada air bening menggelinding lewat mataku.

“Sabarlah, Nak. Innallaha ma’asshabirin.”

* * *

Hati-hati kutelusuri jalan setapak menuju rumah Ustadz Marzuqi. Guru ngajiku, ketika aku masih mengaji bersama teman-teman se-kampung. Lima tahun yang silam.

Hari sudah menjelang Isya’. Kupercepat langkahku agar tidak terlalu malam.

Antum perlu sama siapa ?” tanya seorang Bindere (Santri) seraya mempersilakan aku duduk.

“Ustadz Marzuqi, ada ?” tanyaku.

“Oh…ada. Tunggu sebentar. Akan aku panggil beliau.”

Dengan takdzim pemuda berjenggot tipis itu melangkah menuju tempat kediaman Ustadz Marzuqi. Beberapa meter dari ruang tamu. Tak lama kemudian, Bindere itu pun keluar bersama Ustadz Marzuqi.

Assalamu’alaikum…” ucapku menyalami beliau.

Wa’alaikum salam, wah… bagaimana kabarmu, Nak Rizal ?”

Alhamdulillah, baik-baik saja Ustadz.”

Lelaki tua bersurban itu merangkulku penuh kerinduan. Selama lima tahun di Pesantren, baru kali ini aku bertemu dengan Ustadz Marzuqi. Guru ngajiku yang dengan sabar mengajariku akhlak dan budi pekerti. Aku bahagia bertemu dengan beliau.

“Bagaimana perkembangan dakwah di sini, Ustadz ?” Aku membuka pembicaraan. Ustadz Marzuqi menggelengkan kepala.

“Memangnya ada apa, Ustadz...?” tanyaku kemudian.

“Rizal, kesyirikan dan pemurtadan di sini semakin mewabah. Banyak sudah korban dari pemurtadan tersebut. Lebih-lebih mereka yang mayoritas awam. Mereka sangat mudah sekali terpengaruh. Dan tidak ketinggalan juga remaja-remaja kita. Mereka semakin brutal.” Aku terpekur sejenak. Kuharap ada ilham dan ide cemerlang yang dapat kusumbangkan untuk kepentingan dakwah di kampungku.

“Dan yang sangat aku prihatinkan… Maaf...!” Ustadz Marzuqi menggantung kalimatnya. Aku penasaran.

“Apa itu, Ustadz...?” kejarku.

“Ayahmu, Nak Rizal.”

“Memangnya kenapa, Ustadz ?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Ustadz Marzuqi melanjutkan kata-katanya. Deg...!! Jantungku seolah-olah mau copot mendengar penuturan jujur Pak Ustadz. Aku yakin beliau tidak akan pernah berbohong. Dan itu realistis. Sesuai dengan fakta yang aku ketahui tentang Ayah. Allahumamaghfirli waliwaalidayya warham humaa kama robbayaani shoghiraa…

* * *

“Bangsat..! Siapa di antara kalian yang makan sesaji yang ada di kamar Ayah ? Siapa..!?” Aku terlonjak kaget mendengar suara gaduh di ruang tengah. Ayah murka lagi. Pasti beliau kalah lagi hari ini.

“Kenapa kalian cuma diam? Di mana sesaji itu...??” Seisi rumah sudah berantakan. Perabot-perabot rumah berserakan di ruang tengah. Sesaji...? Aku jadi ingat seorang pengemis yang kemarin datang ke rumah ini. Dia butuh makan. Dan sesaji itu aku berikan kepada pengemis yang kelaparan itu.

“Rizal… Kenapa kau cuma diam !!?” bentakan Ayah membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Menatap pandangan mata Ayah yang kian menghunjam.

“Maaf, Ayah. Sesaji itu Rizal berikan kepada seorang pengemis yang kemarin datang ke sini. Dia kelaparan, dan…”

Plak...plak...!!” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, tangan kekar Ayah sudah mendarat di pipiku.

“Kurang ajar kamu, Zal..! Kau pikir sesaji itu untuk apa, hah...?” bentak Ayah geram. “Sesaji itu bukan untuk dimakan, tapi untuk persembahan. Akhir-akhir ini banyak dedemit-dedemit yang gentayangan di rumah ini. Kau tahu...?” kemarahan Ayah semakin membuncah. Aku tak sanggup menatap tatapan matanya yang makin tajam.

“Ayah, semua penyakit dan musibah itu datangnya dari Allah. Bukan dedemit atau apa pun yang mendatangkan musibah itu. Kembalikanlah semua kepada Allah.”

“Rizal, jangan bikin Ayahmu ini murka. Kalau kau masih tetap tidak menuruti kata-kata Ayah, lebih baik kau minggat dari rumah ini !!!” Suara Ayah semakin keras. Pertanda kesabarannya sudah mulai menipis.

“Kalau memang itu kehendak Ayah, baiklah, aku akan pergi dari rumah jahanam ini.” Ucapku kemudian. Kesabaranku pun mulai menipis. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa pesimis menghadapi semua fenomena ini. Astaghfirullah. Aku hanya mampu beristighfar dalam hati.

Kulihat Ibu dan Aisyah menghampiriku. Memegang erat kedua tanganku. Seolah-olah mereka berat membiarkan aku pergi.

“Tawakkal anakku. Cobaan ini belum seberapa. Kalau kau pergi, berarti kau membiarkan keluarga kita ini terjerat dan terbelenggu dalam kemusyrikan. Yakinlah bahwa Allah menyertaimu. Dan suatu saat pasti akan memudahkan semua kesulitan dalam perjalanan dakwahmu.” Air mata Ibu tumpah. Tangisnya pecah. Ada rasa sedih dan haru menyergap perasaanku saat kupeluk erat tubuh beliau.

“Benar Mas, Penduduk di sini masih butuh taushiyah-taushiyahmu. Kau harus tegar menghadapi semua ini.” Timpal adikku.

Astaghfirullah. Hampir saja aku putus asa. Untunglah ada taushiyah-taushiyah Ibu yang menggugah kembali semangat dakwahku. Ya Allah… berilah hamba-Mu ini kesabaran dalam menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan di muka bumi-Mu ini.

* * *

Rasa tak percaya masih menggelayuti perasaanku. Tapi ini bukan mimpi. Sosok tubuh yang terbujur kaku di depanku adalah Ayahku. Orang yang telah mendidik dan membesarkan aku. Tidak...!! Jerit batinku. Aku terlambat. Aku terlambat untuk meluruskan kembali aqidah Ayah.

Darah segar itu masih menggenangi luka yang bersarang di kepalanya. Mukanya babak belur. Ayah dikeroyok teman-temannya sendiri di bandar judi. Allah… Mengapa ini harus terjadi pada Ayah? Inikah akhir dari perjalanan dakwahku selama ini? Tidak. Aku belum berhasil. Aku harus berhasil mengislamkan kembali penduduk kampungku yang selama ini terjebak dalam kemusyrikan. Aku harus berhasil merebut kembali keimanan mereka yang selama ini terampas.

Badanku mendadak lemas. Kepalaku berdenyut pusing. Batinku berkecamuk. Ya Allah… berilah hamba-Mu kekuatan dalam meneruskan perjalanan dakwah ini. Laahaula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adzim...

* * *

Sumenep, 2002

*) Kado cinta untuk kedua orang tuaku.